CANDI
BOROBUDUR
SEJARAH
DAN FILOSOFINYA
Oleh:
Haidlor Ali Ahmad
Pendahuluan
Candi Borobudur
merupakan candi Buddha, terletak di Desa Borobudur Kabupaten Magelang Jawa
Tengah. Meski Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi
Ankor Wat di Kamboja (Jeffry, 2012). Tetapi karena banyak keistimewaan yang
dimilikinya, maka tidak sedikit pula para ahli yang mengatakan, bahwa Candi
Borobudur adalah candi atau vihara, sekaligus salah satu monument Buddha
terbesar di dunia. Selain itu, candi ini juga memiliki koleksi relief Buddha
terlengkap di dunia (Pratama, 2014). Bahkan ada yang mengatakan, Candi
Borobudur adalah sebuah mahakarya agung, sebuah monumen Buddha terbesar di
dunia yang telah diakui UNESCO. Candi ini merupakan contoh puncak pencapaian
keselarasan teknik arsitektur dan estetika senirupa warisan kejayaan Dinasti
Buddha di Indonesia (Putro, 2014).
Candi
Borobudur merupakan bentuk bangunan yang tiada duanya di dunia. Borobudur mirip
bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir. Dari kejauhan, Borobudur tampak
seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Namun
berbeda dengan piramida raksasa Mesir dan Piramida Teotihuacan Meksiko,
piramida Borobudur berupa punden berundak yang tidak ditemukan di daerah dan
belahan dunia manapun, termasuk India tempat kelahiran agama Buddha. Inilah
salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Buddhis
di Indonesia (Jeffry, 2012).
Monumen
ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
Buddha berlatih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan
sesuai ajaran Buddha (Pratama, 2014).
Candi
Borobudur merupakan ‘puzzle’ atau ‘lego’ dari sekitar dua juta balok batu
vulkanik raksasa yang dipahat sedemikian rupa sehingga dapat saling mengunci (interlock) meski tanpa menggunakan
semen atau perekat apapun. Borobudur yang dibangun memakan waktu sekitar 75
tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan ‘puzzle’
batu raksasa, meski teknik menyusun batu-batu ini pun adalah sebuah pekerjaan
yang luar biasa. Borobudur juga menyimpan pesona keindahan karya seni bernilai
tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan agama. Kesepuluh pelataran Borobudur
adalah sebagai representasi filsafat Buddha Mahayana, yang menggambarkan
sepuluh tingkatan Boddhisatwa yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan
menjadi Buddha. Borobudur serupa dengan kitab Buddha yang dipahat di batuan
dengan kualitas dan kuantitas pahatan relief dan jenis cerita yang sarat dengan
makna, serta dilengkapi dengan rapang dan stupa yang tak kalah mengagumkan (http://www.indonesia.travel/id/destination/233/borobudur).
Para pendiri Borobudur bermak-sud melalui Candi Borobudur ajaran-ajaran Buddha
dapat tersajikan secara visual.
Oleh
karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki Borobudur – baik yang bersifat fisik
(materi), arsitektur, estetika, maupun yang bersifat non materi, yakni filosofi
ajaran Buddha yang terkandung di dalamnya – inilah yang mendorong peneliti
untuk menyusun makalah ini. Dengan harapan, mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang hazanah budaya warisan nenek
moyang. Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengungkap sejarah, nama, arsitektur, filosofi dan sesuatu yang telah hilang
dari warisan budaya yang adiluhung ini.
Nama
Borobudur
Menurut Prof.
Dr. Poerbotjaroko, nama Borobudur berasal dari kata ‘boro’ dan ‘budur’. Boro
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks ‘candi, biara atau
asrama’. Sedangkan kata budur merujuk pada bahasa Bali, ‘beduhur’ yang berarti ‘di atas’. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof.
Dr, Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti ‘biara di atas sebuah
bukit’. Sedangkan menurut Prof. J.G. De Casparis, berdasarkan prasasti Karang
Tengah, nama Borobudur berasal dari bahasa Sansekerta, Bhumi Sambhara Bhudhara yang berarti ‘Bukit himpunan kebajikan
sepuluh tingkatan Boddhisattwa’ (Soediman, 1968: 10-11).
Berdasarkan
prasati Kayumwungan, Borobudur adalah sebuah biara yang mengandung
berlipat-lipat kebijakan Sugata atau Buddha. Namun istilah biara ini terasa
janggal bila difahami mengikuti pengertian tentang sebuah biara sebagaimana
dikenal umum sekarang. Menurut Hudaya Kandahjaya dalam desertasinya istilah
biara ini merujuk ke istilah teknis lainnya yang memungkinkan orang memahami
rancangan arsitektur Borobudur. Istilah yang dimaksud adalah sebuah bentuk
biara khusus yang dikenal sebagai sebuah bangunan atap (kumagara), yang punya sejarah panjang dan mengalami banyak
perubahan makna sepanjang sejarah agama Buddha. Borobudur, tegasnya, adalah
sebuah struktur tempat Buddha Sakyamuni tinggal selama berada di dalam Rahim
ibunya. Struktur itu berbentuk sebagai hasil dari berlipat-lipat kebijakan
Buddha Sakyamuni (Gunawan, 2004).
Sejarah
Berdiri
Ada
beberapa versi berkenaan dengan waktu pembangunan candi Borobudur, sebagian berpendapat, masa pembangunan candi
Borobudur diperkirakan memakan waktu sekitar satu abad, antara 750-847 M dalam
tiga generasi kerajaan Buddha Wangsa Syailendra. Pembangunan candi ini dimulai
pada masa Maharaja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan
oleh putranya, Samarattungga, dan diselesaikan oleh cucu perempuannya, Sang
Dyah Pramodhawardhani.
Sedangkan
menurut Prof. J. G. De Casparis, berdasarkan prasasti Karang Tengah, dengan
sengkala: rasa sagara kstidhara atau
tahun Caka 746 (824 M), dibangun oleh raja Samaratungga dari dinasti
Syailendra. Sedangkan berdasarkan prasti Klurak (784M) pembangunan candi itu
selesai pada tahun 847 M, yaitu pada masa kekuasaan Dyah Pramodhawardhani.
Penemuan
Kembali dan Restorasi
Pada
permulaan abad ke 18, disebutkan dalam Babad
Tanah Jawa bahwa Mas Dana yang memberontak kepada Pakubuwana I (1709-1710).
Ia ditangkap di ‘Redi Borobudur’ (Gunung
Borobudur). Lima puluh tahun kemudian (1757-1758) seorang Sultan dari
Yogyakarta melakukan perjalanan ke Borobudur untuk melihat 1000 patung
(Soediman, 1968: 14).
Selama
pereode pemerintahan Thomas Stamford Raffles (1814), Gubernur jenderal itu
demikian tertarik kepada peninggalan Candi Borobudur, sehingga ia memerintahkan
kepada H.C. Cornelius seorang military
engineer, untuk membersihkan Candi Borobudur yang sebagian telah runtuh dan
terkubur tanah, serta ditumbuhi belukar dan tertimbun sampah (ibid). Hartmann,
Residen Kedu, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda, meneruskan pekerjaan Cornelius. Atas upaya
Hartmann akhirnya pada tahun 1835 seluruh bagian bangunan telah tergali dan
terlihat. Minat Hartmann terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi dari pada
tugas sebagai pejabat pemerintah. Hartmann tidak menulis laporan atas kerjanya.
Dari pekerjaan Hartmann itu beredar kabar bahwa ia telah menemukan rapang
Buddha yang belum selesai (unfinished
Buddha) dalam dagoba. Meski yang
ditemukan Hartmann hingga sekarang tetap menjadi misteri (lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/boro-budur).
Upaya restorasi selanjutnya,
pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat
Belanda bidang teknik, untuk mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan
relief. Disamping Wilsen, J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan
penelitian lebih rinci. Brumund dapat merampungkan tugasnya pada tahun 1859.
Karena Brumund tidak bersedia bekerjasama dengan Wilsen, sehingga pemerintah
Hindia Belanda kemudian menugaskan C. Leemans yang mengkompilasi monografi
berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Monografi pertama dan penelitian
lebih detail tentang Borobudur diterbitkan dalam tahun 1873, dilanjutkan dengan
terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Sedangkan foto pertama
diambil dalam tahun yang sama (1873) oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van
Kinsbergen (ibid).
Borobudur
kembali menarik perhatian ketika Yzerman dalam tahun 1885 menemukan kaki candi
yang tersembunyi. Foto-foto tentang relief pada kaki tersembunyi itu dibuat
antara tahun 1890-1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
menjaga kelestarian Borobudur, sehingga membentuk tim terdiri atas tiga ahli,
yaitu Brandes (sejarawan seni), Theodoorus van Erp (insinyur ahli teknik
bangunan genie militer), dan Van de Kamer (Insinyur ahli konstruksi bangunan).
Dalam tahun 1902, tim ini mengajukan proposal untuk pemugaran dengan biaya
sekitar 48.800 Gulden. Pemugaran dilaksanakan antara tahun 1907-1911 dipimpin
oleh Theodoorus van Erp.
Setelah jaman
kemerdekaan, pada akhir tahun 1960-an, Pemerintah RI mengajukan permintaan dana
pemugaran kepada masyarakat dunia untuk
menyelamatkan Borobudur. Dalam tahun 1973 Pemerintah RI dan UNESCO merencanakan
pemugaran menyeluruh terhadap Candi Borobudur. Rencana tersebut dilaksanakan
antara tahun 1975-1982.
Arsitektur
Theodoorus
van Erp tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur.
Untuk itu ia melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga
pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak Stupa Sanchi di
Kandy, sampai akhirnya Van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur (Afrianti,
2008). Denah candi Borobudur
membentuk mandala (Sansekerta:
lingkaran, kesempurnaan), yaitu pola geometris yang melambangkan alam semesta
dalam kosmologi Buddha. Ajaran Buddha membagi alam semesta menjadi tiga unsur
yang disebut ‘dhatu’ (Gunawan, 204).
Menurut
hasil penelitian Robert von Heine Geldern dari Austria, bahwasannya nenek
moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada jaman neolitik dan megalitik
yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja, yang dikenal dengan kebudayaan
Dongson. Oleh karena itu, arsitektur Borobudur merupakan kombinasi dari
unsur-unsur lokal, yaitu unsur-unsur arsitektur megalitik punden berundak atau
piramida bertingkat warisan budaya prasejarah di Indonesia, seperti piramida
bertingkat Gunung Padang di Jawa Barat dengan konstruksi stupa dan mandala (ajaran Buddha).
Arsitektur
Borobudur memiliki dasar berupa bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada
setiap sisinya. Bangunan ini memiliki 9 teras, terdiri dari 6 teras berbentuk
bujur sangkar dan 3 teras di atasnya berbentuk lingkaran. Tingkatan tertinggi
berupa stupa besar yang disebut dhatugarba
(dhagoba). Di atas dhagoba dulu terdapat
catra (tiga buah payung bertingkat),
yang runtuh karena disambar petir.
Menurut
prasati Klurak (784 M), pembangunan candi ini dibantu oleh seorang guru dari
Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kamaragacya dan seorang pangeran dari Kasmir
bernama Visvawarman yang bertindak sebagai penasehat ahli dalam ajaran Tantra
Vajrayana Buddhis (Putra, 2012).
W.O.J.
Nieuwenkamp (1931) mengajukan teori bahwa dataran Kedu dulunya adalah sebuah
danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas
permukaan danau. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai,
dan postur Buddha di Borobudur melambangkan ‘sutra teratai’ yang kebanyakan
ditemui dalam naskah keagamaan Buddha Mahayana. Tiga pelataran melingkar di
puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai. Akan tetapi
teori Nieuwenkamp ini banyak menemui bantahan para arkeolog, yang mengatakan
bahwa daratan di sekitar Borobudur pada masa pembangunannya merupakan daratan
kering, bukan dasar danau purba. Sementara para pakar geologi justru mendukung
teori Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya sendimen lumpur di dekat
situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sendimen tahun 2000 mendukung
keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur (http://id.wikipedia. org/wiki/Borobudur).
Menurut
legenda setempat arsitek Candi Borobudur bernama Gunadharma. Legenda tentang
Gunadharma ini oleh penduduk setempat sering dikaitkan dengan Bukit Menoreh,
yang berada tidak jauh dari Borobudur. Bukit itu jika dilihat dari Borobudur
mirip dengan seorang raksasa yang sedang tidur telentang. Dalam legenda
tersebut diceritakan, setelah Gunadharma berhasil membangun Candi Borobudur, ia
beristirahat tidur telentang dan karena kelelahan sehingga menemui ajalnya.
Jasadnya kemudian berubah menjadi Bukit Menoreh.
Teknik
Pembangunan
Banyak orang
ketika melihat candi apapun, terutama candi-candi yang dibangun menjulang
tinggi seperti Candi Prambanan (47 m), dan Candi Borobudur (42 m), menanyakan
bagaimana cara mengangkat dan meletakkan batu sebesar dan seberat itu ke
atas puncak candi yang setinggi itu,
padahal waktu itu belum ada alat berat (misal crane) untuk mengangkat dan meletakkan barang-barang yang berat di
tempat yang tinggi. Untuk itu, para ahli menyamakan teknik pembangunan
candi-candi di Indonesia termasuk Candi Borobudur dengan pembangunan piramida
di Mesir. Teknik tersebut adalah teknik ‘timbun, tarik dan dorong’. Setiap satu
deret batu secara horizontal telah selesai disusun, kemudian bagian luarnya ditimbun
dengan tanah atau pasir sampai sejajar dengan permukaannya. Dengan demikian
batu-batu berikutnya tidak perlu diangkat melainkan cukup ditarik dengan tali
yang kuat dan didorong sehingga dapat disusun secara horisontal pada posisinya.
Demikian dan seterusnya hingga selesai pembangunannya. Setelah selesai tanahnya
digali kembali dan disingkirkan, meski teknik ini sulit untuk dibayangkan.
Batu-batu candi
Borobudur disusun dengan menggunakan teknik interlocking
stone, saling kait mengkait. Sebagian batu ada pasaknya dan sebagian yang
lain ada lubangnya, dan batu-batu itu disusun secara kait mengkait. Keterkaitan
antara batu yang satu dengan batu yang lain tidak menggunakan perekat semisal
adukan semen.
Setelah candi yang
terbuat dari batu andesit ini selesai dibangun kemudian dilapisi vajra lepa, yaitu adukan dari tujuh
unsur yang sudah tidak diketahui
unsur-unsurnya. Vajra lepa ini
berwarna kuning keemasan dan tidak bisa ditumbuhi lumut. Fungsi lapisan vajra lepa ini selain agar sela-sela
atarbatu tidak bisa kemasukan air hujan dan tidak ditumbuhi lumut. Sehingga,
sebelum Candi Borobudur runtuh, candi ini selain megah dan indah juga sangat
memukau karena vajra lepa yang
membukusnya memancarkan warna kuning keemasan[1].
Filosofi
Ajaran Buddha
Stutterheim
dan N.J. Krom, mengemukakan landasan falsafah dan agama yang melatarbelakangi
berdirinya Candi Borobudur adalah ajaran Buddha Dharma aliran Mahayana-Yogacara
dan ada kecenderungan bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.
Menurut
Prof. Dr. W.F. Stutterheim (1929), bahwa Candi Borobudur itu merupakan
‘replika’ dari alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 unsur, yaitu: 1) Kamadhatu (unsur nafsu);
2) Rupadhatu (unsur wujud); dan 3) Arupadhatu (unsur tak berwujud). Sedangkan
menurut Prof. J. G. De Casparis (1950) bahwa Borobudur bertingkat 10
menggambarkan secara jelas filsafat agama Buddha Mahayana yang disebut
‘Dasabodhisatwabhumi’. Filsafat itu mengajarkan, bahwa setiap orang yang ingin
mencapai tingkat kedudukan sebagai Buddha harus melampaui 10 tingkat
Bodhisatwa. Apabila telah melampaui 10 tingkat itu, maka manusia akan mencapai
kesempurnaan dan akan menjadi Buddha.
Kamadhatu
yaitu bagian kaki candi, yang menggambarkan kehidupan awam yang masih dikuasai
oleh kama atau nafsu (seksual) yang
rendah. Pada tingat ini dipenuhi dengan 160 panel relief Karmawibhangga. Relief
ini menggambarkan tentang hukum karma, hukum sebab akibat dari suatu perbuatan
baik dan buruk. Bahkan relief ini secara jelas menggambarkan tentang nafsu dan kenikmatan,
perbuatan dosa serta hukuman yang diterima, dan sebaliknya tentang perbuatan baik dan
pahalanya. Karena oleh pemerintah Hindia Belanda relief Karmawibhangga dianggap
tabu, sehingga relief tersebut ditutup oleh J.W. Yzerman dengan sekitar 12.750
m2 batu penutup.[2]
Rupadhatu,
menggambarkan tingkatan hidup manusia yang sudah terlepas dari kama, tetapi
masih terikat dari rupa (materi), atau kehidupan yang masih mengejar kekayaan
duniawi. Bagian ini terdiri dari empat lorong yang dihiasi 1300 panel relief
yang panjang seluruhnya mencapai 2,5 km.
Arupadhatu,
denah lantai berbentuk lingkaran, dan dindingnya polos tidak ada relief. Ini menggambarkan
tingkatan dimana manusia sudah terbebas dari rupa (nafsu terhadap materi).
Tetapi manusia belum mencapai tingkat nirwana. Rapang-rapang Buddha ditempatkan
di dalam stupa yang berlubang-lubang seperti kurungan. Di tingkat ini, rapang
Buddha berada dalam stupa dengan lubang berbentuk layang-layang (diamond shape) yang melambangkan bahwa
pada tingkatan ini manusia meskipun sudah berupaya meninggalkan nafsu duniawi
tapi masih belum stabil, dan kadang-kadang masih goyah tergoda oleh indahnya
nafsu duniawi; Di atas tingkat arupadhatu, ada tiga tingkatan lagi, yaitu:
a.
Nirwana
yang
paling bawah, ditandai dengan lubang stupa berbentuk layang-layang (diamond shape) yang melambangkan bahwa
meskipun sudah berada di nirwana tapi masih belum stabil dan kadang-kadang
masih goyah.
b.
Parinirwana,
tingkat kedua, ditandai dengan lubang stupa berbentuk persegi (square shape) yang melambangkan bahwa
pada tingkatan ini manusia sudah stabil keyakinannya untuk meninggalkan
sepenuhnya nafsu duniawi;
c.
Mahaparinirwana,
tingkatan tertinggi, dilambangkan dengan stupa yang terbesar, stupa polos tanpa
lubang, yang disebut Dhatugharba (Dhagoba),
dimana manusia sudah mencapai tingkatan ketiadaan wujud yang sempurna. Dengan
stupa tanpa lubang, tidak membatasi pandangan sama sekali, karena pada
tingkatan ini manusia melihat bukan dengan mata kepala, melainkan dengan mata
hati. Atau sebagai lambang kasunyatan, kesunyian
dan ketiadaan sempurna, dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat,
keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Rapang
Buddha
Di Candi
Borobudur terdapat banyak rapang Buddha duduk bersila dalam posisi teratai dan
mudra atau sikap tangan tertentu. Rapang Buddha dalam relung-relung di tingkat
Rupadhatu ditata berdasarkan deretan di sisi luar pagar langkan, jumlahnya
semakin berkurang pada tingkat atasnya. Pada deretan pagar langkan pertama
terdapat 104 rapang, deret kedua 104 rapang, deret ketiga 88 rapang, deret
keempat 72 rapang, deret kelima 64 rapang. Jumlah keseluruhan rapang Buddha di
tingkat Rupadhatu sebanyak 432 rapang.
Pada
tingkat Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), rapang Buddha diletakkan dalam
stupa-stupa berlubang. Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 rapang,
pelataran kedua 24 rapang, dan pelataran ketiga 16 rapang. Semuanya berjumlah
72 rapang. Secara keseluruhan jumlah rapang di tingkat Rupadhatu dan Arupadhatu
seharusnya (sesuai dengan aslinya) terdapat 504 rapang Buddha, namun 43 rapang
telah hilang, dan 300 rapang dalam kondisi rusak, kebanyakan tanpa kepala.
Kepala rapang Buddha banyak diburu para pencuri dan dijual kepada para
kolektor, kebanyakan dibeli oleh museum luar negeri.
Di tingkat
paling tinggi, dalam dhagoba pernah diketemukan rapang Buddha yang belum
selesai (unfinished Buddha), yang
semula diduga sebagai rapang Adibuddha. Setelah diadakan penelitian, tidak
pernah ada patung dalam dhagoba.
Rapang yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pamahatnya pada zaman dulu.
Menurut kepercayaan, rapang yang salah dalam pembuatannya tidak boleh dirusak
(Jeffry, 2012).
Tjoek
Kertosari[3]
mengatakan, bahwa pada waktu Ratu Sirikit – dari Thailand – berkunjung ke
Indonesia, Sirikit mengatakan kepada Presiden Soekarno, bahwa kakeknya, Raja
Chulolongkorn memiliki rapang Buddha terbuat dari emas yang ada hubungannya
dengan peninggalan jaman kejayaan Buddha di Jawa. Kertosari menghubungkan
rapang emas itu dengan apa yang dilakukan Hartmann, Residen Kedu yang
membersihkan Candi Borobudur (1842),
hanyalah sebuah kedok dari pencurian rapang emas yang ada dalam dhagoba dan Hartmann yang memasukkan
patung yang tidak selesai itu ke dalam dhagoba.
Kepemilikan
Raja Chulolongkorn atas rapang emas tersebut juga bisa dikaitkan dengan tindakan
penjarahan situs bersejarah yang direstui oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Raja
Chulolongkorn ketika mengunjungi Jawa (1896) menyatakan minatnya untuk memiliki
beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintahn Hindia Belanda mengizinkan dan
menghadiahkan delapan gerobak penuh rapang dan bagian bangunan candi. Artefak
yang diboyong ke Thailand antara lain, 5 rapang Buddha dan 30 potong batu
relief, dua patung singa, relief kala, tangga dan gerbang, dan arca dwaraphala
(Soediman, 1968: 14-15). Beberapa
artefak ini, arca singa dan dwaraphala dipajang di Museum Nasional Bangkok
(http;//id.wikipedia.org/wiki/ Borobudur).
Sekilas
rapang-rapang Buddha terlihat serupa, akan tetapi jika dilihat berdasarkan
ikonografi, rapang Buddha mudah dibedakan berdasakan mudra (sikap tangan). Ada lima jenis mudra, kesemuanya berdasarkan empat arah mata angin ditambah satu
di tengah. Rapang Buddha yang terdapat pada keempat pagar langkan memiliki
empat mudra yang berbeda, sesuai
dengan arah rapang itu menghadap, yakni: timur, selatan, barat, dan utara.
Sedangkan rapang Buddha pada pagar langkan kelima dan rapang Buddha dalam 72
stupa berlubang menampilkan mudra
tengah atau sentral.
Mudra rapang Buddha di Candi Borobudur dilihat
dengan mengikuti arah pradaksina yaitu
mengelilingi candi mengikuti arah putaran jarum jam, dapat disimak dalam table
berikut:
Tabel:
1
Mudra
Rapang Budda Candi Borobudur
Dhyani
Buddha
|
Arah
Mata Angin
|
Mudra
|
Makna/Lambang
|
Letak
Rapang
|
Aksobhya
|
Timur
|
Bumisparsa
|
Bersumpah kepada bumi
|
PagarLangkan ba- ris 1-4 Rupadhatu
|
Ratnasambawa
|
Selatan
|
Wara
|
Kedermawanan
|
PagarLangkan ba- ris 1-4 Rupadhatu
|
Amitabha
|
Barat
|
Dhyana
|
Meditasi
|
PagarLangkan Ba- ris 1-4 Rupadhatu
|
Amoghasiddhi
|
Utara
|
Abhaya
|
Menangkal Bahaya
|
PagarLangkan ba- ris 1-4 Rupadhatu
|
Wairocana
|
Tengah
|
Witarka
|
Akal Budi
|
PagarLangkan ba- ris ke 5 Rupadhatu
|
Wairocana
|
Tengah
|
Dharmacakra
|
Pemutaran roda dharma
|
Di dalam 72 stupa berlubang Arupa-dhatu
|
Relief
Borobudur
Candi Borobudur dihiasi
dengan relief terpanjang di dunia (2,5 km). Relief tersebut terdiri dari
beberapa judul cerita. Susunan dan judul cerita relief pada dinding dan pagar langkan
candi dapat disimak pada bagan atau tabel berikut ini:
Tabel:
2
Relief
Candi Borobudur
Tikat
|
Letak
|
Judul
Cerita
|
Jumlah
Panel
|
|
Kamadhatu (kaki candi asli)
|
Dinding kaki (tertutup batu Yzerman)
|
Karmawibhangga
|
160
|
|
Rupadhatu
|
Tingkat 1
|
Dinding
|
a.
Lalitavistara
|
120
|
b.
Buddhacarita
|
120
|
|||
Langkan
|
a.
Jatakamala/avadana
|
372
|
||
b.
Jatakamala/avadana
|
128
|
|||
Tingkat 2
|
Dinding
|
Gandaviyuha
|
128
|
|
Langkan
|
Jatakamala/avadana
|
100
|
||
Tingkat 3
|
Dinding
|
Gandaviyuha
|
88
|
|
Langkan
|
Gandaviyuha
|
88
|
||
Tingkat 4
|
Diding
|
Gandaviyuha
|
84
|
|
Langkan
|
Gandaviyuha
|
72
|
||
Jumlah
|
1.460
|
a. Karmawibhangga
Adalah relief yang menggambarkan
suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat (hukum karma). Di ranah
Kamadhatu, beberapa relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia,
seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan dan penistaan. Relief Karmawibhangga
ini tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat tetapi juga menggambarkan ajaran
sebab akibat dari perbuatan baik.
Setiap panel Karmawibhangga bukan
merukan suatu rangkaian cerita (berseri), melainkan merukan potongan-potongan
cerita yang berisi kisah-kisah yang di antaranya menggambarkan perilaku
masyarakat Jawa pada masa lalu, meliputi perilaku keagamaan, mata pencaharian,
struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna dan
sebagainya.
Relief Karmawibhangga ini terdiri
dari 160 panel, namun relief tersebut tersembunyi karena ditutup struktur batu.
Batu penutup ini kemudian dikenal dengan nama batu Yzerman.
b. Lalitavistara
Berisi riwayat Sang Buddha yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tusita, yakni lahirnya Sang Buddha
di dunia sebagai Pangeran Sidharta Gautama, putra Raja Sudhodana dan permaisuri
Maya dari Negeri Kapilawastu. Riwayat tersebut berakhir dengan wejangan pertama
di Taman Rusa dekat Kota Benares, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
pemutaran Roda Dharma.
c. Buddhacarita
Adalah berbagai cerita tentang sang
Buddha sebelum dilahirkan sebagai pageran Sidharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dengan makhluk lain.
d. Jatakamala
Merupakan cerita fable yaitu kisah
yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berfikir sebagai manusia.
e. Avadhana
Pada dasarnya hampir sama dengan
Buddhacarita akan tetapi tokohnya bukan Sang Buddha, melainkan orang lain.
Cerita ini terhimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia
kedewaan dan kitab Avadanasataka atau seratus cerita Avadana.
f. Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi
dinding lorong ke 2, adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah
dalam usaha mencari ‘pengetahuan tertinggi’ tentang ‘kebenaran sejati’.
Penggambarannya dalam 460 panel didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana
yaitu kitab Gandavyuha dan pada bagian terakhir (penutup) diambil dari cerita
dari kitab Bhadracari.
Yang
Tersembunyi dan Yang Hilang
Di ranah Kamadhatu,
beberapa relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti
perampokan, pembunuhan, penyiksaan dan penistaan. Relief Karmawibhangga ini
tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat tetapi juga menggambarkan ajaran
sebab akibat dari perbuatan baik. Pengunjung Borobudur tidak dapat menyaksikan
relief ini kecuali hanya sebagian kecil di salah satu sudut, karena relief ini
tertutup oleh batu Yzerman.
Pemerintah
Hindia Belanda mempertahankan batu penutup ini karena memandang relief
Karmawibhangga sebagai tabu, meskipun relief ini sebenarnya merupakan suatu
ajaran yang memiliki nilai tinggi, karena tidak hanya menggambarkan perbuatan
jahat tetapi juga menggambarkan ajaran sebab akibat dari perbuatan baik, serta potongan-potongan
cerita yang berisi kisah-kisah yang di antaranya menggambarkan perilaku
masyarakat Jawa pada masa lalu, meliputi perilaku keagamaan, mata pencaharian,
struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna dan
sebagainya.
Jika
pengunjung bisa menyaksikan relief Karmawibhangga ini mereka akan dapat
mempelajari dan mengambil nilai-nilai serta pesan-pesan dari Karmawibhangga,
bahkan dapat membandingkannya dengan relief-relief yang terdapat di Candi
Kajuraho di India yang mendapat julukan sebagai the most erotis temple in the world.
Masih
banyak misteri yang menyelimuti Candi Borobudur, antara lain tentang danau
purba yang mengitarinya, dan bagaimana teknik pembangunannya, terutama tentang
teknik pengangkatan bungkahan-bungkahan batu besar ke puncak candi setinggi 42
m. Selain itu, di dalam dhagoba juga ada
misteri yang masih belum tersingkap jelas hingga sekarang. Apakah benar dalam dhagoba terdapat rapang Adhibuddha yang
belum selesai (unfinished Buddha), atau
rapang emas yang kemudian berada di Thailand, atau kosong sama sekali?
Banyak pula yang telah
hilang dari Candi Borobudur, dari 504 rapang Buddha, 43 rapang telah hilang,
dan 300 rapang dalam kondisi rusak, kebanyakan tanpa kepala. Yang sangat
memprihatikan adalah hilangnya pengetahuan dan teknik pembuatan vajra lepa. Dari unsur-unsur apa vajra lepa dibuat dan bagaimana teknik
pembuatannya?
Daftar
Bacaan
Afrianti, Dwi, Hal Ihwal Candi Borobudur; Filosofi, Sejarah, dll.
Gunawan, Irwan, ‘Desertasi Mengungkap Asal-usul dan
Pembangunan Borobudur’, Kompas, http://print.kompas.com/baca/2015/06/02/Desertasi-Mengungkap-Asal-usul-dan-Pembangun-Borob.
http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur
(diunduh, 15/06/2015: 14.32).
http://www.indonesia.travel/id/destination/233/borobudur/article/202/membaca-ribuan-panil-relief-pada-candi-borobudur.
Jeffry, Handoyo El, Borobudur: Folosofi dan Sejarah yang Terkubur. 20 Juli 2012.
Pratama, Ganang Nur, Candi Borobudur Yogyakarta. 5 Oktober
2014.
Putra, Resha Permana, Kisah Borobudur. Blog, 08 November 2012.
Siputro, Relief Borobudur; Buku Kehidupan Manusia Jawa Kuno, 12-08-2014.
Soediman, Drs., Glimpses of The Borobudur. Jogjakarta: Kanisius, 1968.
-o0o-
[1]
Disampaikan oleh Tjoek
Kertasari (salah seorang instruktur di Brahman’s
Cakti Cultural Guide Course, Yogyakarta) dalam praktek guiding di Candi Borobudur (1974). Kertasari juga menunjukkan
kepada para peserta kursus sisa-sisa serpihan vajra lepa yang masih menempel di salah satu batu candi.
[2]
Pada waktu rencana pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1975, berkenaan dengan keberadaan
batu Yzerman ada dua wacana yang berkembang, pertama batu Yzerman akan dibuka, tetapi karena batu itu juga
berfungsi sebagai penahan dinding bawah candi, sehingga wacana itu tidak
mungkin diwujudkan. Kedua, batu
Yzerman tetap dipertahankan keberadaannya, tapi dibuat terowongan, sehingga para
pengunjung bisa membaca relief Karmawibhangga. Tapi wacana yang kedua ini juga
tidak dapat diwujudkan.
[3]
Tjoek Kertosari, adalah seorang guide senior
yang biasa mendampingi tamu-tamu negara sejak tahun 1950-an.