Friday, June 17, 2011

MENGURAI MASALAH KEMACETAN LALU LINTAS SECARA SISTEMIK

MENGURAI MASALAH KEMACETAN LALU LINTAS SECARA SISTEMIK
Oleh: Haidlor Ali Ahmad
“Jakarta akan mengalami stagnant pada tahun 2014” bahkan ada yang memrediksi lebih cepat, sebelum 2014. Suatu prediksi yang cukup mencemaskan. Tapi prediksi semacam itu penting untuk memberikan peringatan dini utamanya kepada para pejabat pembuat kebijakan di negeri ini dan khususnya di wilayah ibu kota dan sekitarnya (Jabodetabek). Agar mereka bisa mengantisipasi jauh-jauh hari sebelum prediksi itu menjadi kenyataan dan jangan sampai mereka baru berfikir atau bertindak setelah kena skak-star.
Meski kemacetan lalu lintas bukanlah suatu keniscayaan tapi untuk dihapuskan sama sekali tentu tidak mungkin. Namun kemacetan lalu lintas tentu bisa diminimalisasi. Upaya meminimalisasi kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah suatu keharusan dan sangat mendesak. Karena semakin bertambah parah kemacetan lalu lintas akan berakibat semakin boros penggunaan bahan bakar dan semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia. Yang lebih menyeramkan bila membayangkan “bagaimana jika ibukota yang tercinta ini benar-benar mengalami stagnant”.
Berbagai upaya pemerintah untuk mengatasi kemacetan lalu lintas sudah dilakukan, seperti pembangunan fisik sarana dan prasarana transportasi, meliputi pelebaran jalan, pembangunan jembatan layang (fly over), under pass, jalan layang, jalan bebas hambatan (jalan tol), hingga pembangunan jaringan bus way. Berbagai aturan juga diterapkan, seperti three in one, dan buka tutup jalan tertentu bagi kendaraan umum dan lain-lain. Namun, di tempat-tempat tertentu kemacetan tetap sebagai pemandangan rutin sehari-hari. Meski ada juga yang berhasil, misalnya kemacetan lalu lintas di jalur Cikarang-Karawang yang disebabkan banyaknya pintu rel kereta api. Untuk mengatasinya di Cikarang dibangun jembatan layang, selebihnya dibangun jalur baru menghindari pintu kereta. Setelah pembangunan jembatan layang dan jalur baru itu selesai, jalur Cikarang-Karawang relatif lancar.
Ketidakberhasilan beberapa upaya penanggulangan kemacetan lalu lintas – menurut hemat penulis - dikarenakan banyak penanggulangan kemacetan lalu lintas yang bersifat parsial, terpisah-pisah dan tidak membentuk sub-sistem transportasi. Misalnya, pemberlakuan aturan three in one dan keberadaan jalur bus way yang seharusnya dapat membentuk suatu sub-sistem lalu lintas di ibu kota, tapi justru berdiri sendiri-sendiri. Dua jenis upaya penanggulangan kemacetan lalu litas itu – dapat dikatakan – tidak menyelesaian masalah, sebaliknya justru menimbulkan masalah baru. Diberlakukannya three in one memunculkan joki, dan dibangunnya koridor bus way mengakibatkan semakin menyempitnya jalur bagi jenis kendaraan lain yang akhirnya menambah kemacetan. Bahkan sparator bus way, telah banyak menelan korban jiwa pengendara sepeda motor.
Memang dua jenis upaya penanggulangan kemacetan lalu lintas itu diadopsi dari negara yang berbeda, aturan three in one diadopsi dari Singapura, sedangkan bus way dari Columbia. Tapi sebenarnya dua jenis solusi kemacetan lalu lintas itu bisa dikawinkan menjadi sebuah sub-sistem lalu lintas di ibukota. Aturan three in one diberlakukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan harapan mereka berpindah ke public bus (Trans Jakarta) yang relatif lebih lancar, karena menggunakan jalur khusus (bus way). Namun faktanya tidak demikian, pengguna kendaraan pribadi ketika memasuki kawasan three in one – karena tidak ada solusi tempat parkir kendaraan – mereka menggunakan jasa para joki untuk dapat memasuki kawasan three in one.
Di sini tampak adanya mata rantai yang putus (missing link) dalam sub-sitem sarana transportasi antara pemberlakuan aturan three in one dengan bus way, yaitu ketiadaan sarana (tempat/gedung) parkir, yang memadai, aman dan pelayanannya cepat. Seharusnya di pintu-pintu masuk kawasan three in one tersedia sarana parkir yang sedemikian rupa, dan nyambung dengan stasiun bus way, sehingga membentuk suatu sub-sistem transportasi. Dengan demikian para pengguna kendaraan pribadi ketika memasuki kawasan three in one, bisa memarkir mobilnya dan berganti naik Trans Jakarta (bus way).
Selain itu, ada beberapa kebijakan pembangunan yang kurang tepat yang ikut menambah kemacetan di Jakarta, antara lain:
Pembangunan kota yang melebar
Pembangunan kota yang melebar menjadikan jarak dari tempat tinggal komuter menuju ke tempat pekerjaan menjadi semakin jauh. Hal ini mengakibatkan kendaraan (khususnya kendaraan umum) yang mereka gunakan semakin lama berada di jalan. Kemacetan yang kita hadapi sekarang antara lain karena sekitar 4,5 juta komuter tinggal di luar kota Jakarta (di wilayah Bodetabek). Kendaraan umum yang mengangkut mereka dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya membutuhkan waktu yang cukup lama, antara 1.30 – 3.00 jam, bahkan bisa lebih. Karena jarak tempuh yang panjang dan lamanya waktu tempuh, maka dibutuhkan jumlah kendaraan yang cukup banyak, agar para pengguna jasa angkutan umum itu tidak terlalu lama menunggu di halte. Akibatnya kendaraan semakin banyak dan lama berderet di jalan.
Masalah jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja yang relatif jauh ditambah semakin tidak nyaman dan tidak amannya keadaan dalam kendaraan umum karena banyak pengamen, pencopet, penjambret dan penodong telah mendorong para komuter untuk menggunakan motor dan mobil pribadi sebagai alat transportasi menuju tempat kerja. Mobil-mobil pribadi yang jumlahnya semakin meningkat berakibat semakin banyak menyita ruas jalan dan para pengguna motor yang belakangan jumlahnya meningkat drastis ditambah kurang disiplinnya mereka, selap-selip kiri-kanan, menjadikan trotoar (yang merupakan hak para pejalan kaki) sebagai jalur darurat ketika menghadapi kemacetan, bahkan sering mengambil jalur berlawanan arus sehingga menambah semakin kompleknya permasalahan kemacetan lalulintas di ibukota.
Jika pemerintah DKI membangun kota Jakarta secara vertikal (pemukiman penduduk dalam bentuk flat atau apartemen) sehingga dapat menampung lebih banyak komuter berdomisili di Jakarta, maka jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja menjadi semakin pendek (dekat). Dengan demikian dapat dipastikan waktu yang dibutuhkan bis kota untuk mengantar/mengangkut komuter dari tempat tinggal ke kantor dan sebaliknya akan menjadi semakin pendek, diperkirakan hanya sekitar 15-30 menit. Hal ini secara otomatis akan mengurangi jumlah kendaran yang diperlukan dan akan mengurangi jumlah kendaran berada di jalan, atau mengurangi kemacetan lalu-lintas di Jakarta.
Untuk itu disarankan agar pembangunan kota (khususnya untuk perumahan/pemukiman) yang melebar ke seluruh wilayah Bodetabek ditinjau kembali dan dikembalikan kepada kebijakan pembangunan perumahan ibu kota Jakarta secara vertikal sebagaimana dulu pernah dicanangkan oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta tahun 1970-an.
Jalan yang multi fungsi
Dalam hal tertentu multi fungsi memiliki nilai plus, misalnya gedung multi fungsi (serba guna), bisa untuk rapat, seminar, pesta pernikahan dan lain-lain sangat menguntungkan bagi pemiliknya dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan.Tapi tidak bagi penggunaan jalan, misalnya jalan raya dijadikan sebagai terminal bayangan, tempat dagang, konser musik, pesta pernikahan dan lain-lain, karena banyak pihak yang dirugikan dan menimbulkan kemacetan lalu lintas. Pada kenyataannya jalan yang multi fungsi atau tepatnya penyalahgunaan jalan untuk selain infrastruktur transportasi bukan hal yang asing terjadi di Jabodetabek. Misalnya, jalan di samping Pasar Tambun Bekasi dan Jalan Pembangunan Cikarang sudah berubah menjadi pasar, Jalan Ir. H. Juanda Bekasi, pada ruas dari depan lapangan sepak bola hingga terminal bus hampir separuh badan jalan dipenuhi pedagang kaki lima (PKL); demikian pula di sekitar terminal Pulo Gadung Jakarta dan masih banyak lagi jalan yang telah berubah fungsi menjadi pasar. Padahal sebenarnya penyalahgunaan jalan sebagai tempat berdagang itu bukan karena pasarnya sudah tidak mampu menampung pedagang yang ada, buktinya Pasar Baru dan Pasar Lama Cikarang masih banyak tempat kosong, tapi mengapa Jalan Pembangunan berubah menjadi pasar?
Untuk mengatasi terjadinya penyalahgunaan jalan menjadi tempat berdagang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama pemerintah daerah dalam membangun atau mengelola pasar tradisional hendaknya memperhatikan masalah kebersihan dan drainasenya, agar kondisi pasar tidak kotor dan becek. Dengan demikian masyarakat tidak merasa segan belanja di pasar tradisional dan pedagangnya tidak pindah ke jalanan (mejadi PKL); Kedua, dalam membangun pasar hendaknya memperhatikan arus pengunjung (feng sui) agar pengunjung tidak hanya datang/masuk dari satu arah, misalnya dari depan saja. Yang demikian ini dapat berakibat pasar bagian belakang menjadi sepi dari pengunjung, sehingga para pedagang yang berada di bagian belakang berpindah menjadi PKL. Untuk mengatasi hal tersebut, tempat parkir hendaknya dipindah ke bagian belakang, agar arus pengunjung merata baik dari depan maupun dari belakang; Ketiga, hendaknya yang berwajib dan para petugas bisa bersikap preventif terhadap munculnya PKL. Pada kenyataannya kemunculan PKL tidak serentak dalam jumlah yang banyak, melainkan mereka muncul satu demi satu. Oleh karena itu ketika mereka baru muncul hendaknya para petugas segera menertibkan. Kalau upaya penertiban menunggu jumlah PKL menjadi banyak, yang dihadapi petugas akan semakin berat.
Sering penanganan PKL menjadi seperti lingkaran setan, apabila kemunculnya dibeking oleh oknum pejabat/aparat pemerintah. Penulis pernah mewawancarai beberapa orang PKL dan petugas retribusi di salah satu wilayah pinggiran Jakarta, ternyata kemunculan PKL ada yang merupakan tindakan back street dari pemda setempat. Kebijakan yang tidak bijaksana itu dilakukan untuk memperoleh sumber dana kesejahteraan bagi pegawai pemda, melalui pebayaran retribusi PKL. Sehingga penarikan retribusi bagi para pedagang di siang hari bisa berlangsung 2-3 kali dan bagi pedagang pada malam hari lebih parah lagi, bisa 4 kali, salah satunya dilakukan oleh preman.
Keberadaan PKL ternyata ada yang memelihara dan terdapat banyak unsur yang ikut berperan di balik keberadaan PKL. Sandiwara penggusuran PKL sudah sering kita saksikan bersama. Betapa galak dan teganya petugas penertiban bertindak, mereka layaknya centeng-centeng kompeni mengobrak-abrik lapak PKL. Mereka menyita berbagai jenis barang dagangan, berbagai jenis gerobag, dan perlengkapan dagang lainya. Tapi ternyata semua itu dapat ditebus dan beberapa hari kemudian PKL menjamur kembali.
Sandiwara yang sama juga terjadi berkenaan dengan penertiban angkutan umum yang mangkal di terminal-terminal bayangan maupun yang ngetem di persimpangan jalan yang rawan macet. Dalam melakukan aksinya, oknum petugas biasanya menggunakan mediator preman atau calo. Tapi kalau setoran kurang memuaskan, oknum-oknum petugas pun bertindak secara langsung dengan menilang sopir yang melanggar rambu-rambu dengan meminta SIM/STNK. Kadang sopir menyelipkan uang di STNK atau keneknya yang turun dari kendaraan dan melakukan negosiasi dengan petugas. Kalau begitu, siapa sebenarnya yang menjadi biang kemacetan lalu lintas? Apakah karena sopir yang tidak disiplin atau petugasnya yang tidak disiplin? Apakah karena PKL yang menjajakan barang dagangannya hingga ke jalanan, atau karena petugas penertiban yang selalu bermain sandiwara dalam menjalankan tugasnya, atau kebijakan pemda yang tidak bijaksana yang berupaya mempertahankan keberadaan PKL demi menambah kemakmuran diri dan anak buahnya?
Membangun sub-sistem tranportasi KA dan bus kota terpadu
Untuk meminimalisasi kemacetan juga dapat dilakukan dengan membangun sub-sistem transportasi kereta api (KA) dan bus kota terpadu. Dalam hal ini, pemerintah perlu membangun terminal/jalan raya terpadu dengan stasiun/jalur rel KA. Selama ini antara terminal bus dan stasiun KA di wilayah Jabodetabek semuanya terpisah. Sejauh pengamatan penulis, hanya stasiun KA Pasar Senen dan terminal bus Pasar Senen yang agak berdekatan letaknya, tapi tidak membentuk suatu sub-sistem yang terpadu, sehingga para penguna jasa angkutan umum, misalnya dari Pasar Senen tujuan Bekasi hingga Cikarang masih sulit berpindah dari terminal bus ke stasiun KA atau sebaliknya. Karena selain jaraknya untuk ukuran orang jalan kaki masih cukup jauh, apalagi jika membawa tentengan yang cukup berat, dan di terminal bus tidak ada informasi/jadwal KA.
Untuk mewujudkan sub-sistem transportasi yang terpadu antara KA dan bus kota, menurut hemat penulis, bisa diwujudkan antara stasiun KA Kota (Beos) hingga stasiun KA Cikarang. Sepanjang jalur rel KA antara dua stasiun tersebut dapat dibangun jalan raya, yang merupakan pengembangan dari jalan raya antara stasiun KA Jatinegara - stasiun KA Cakung. Sepanjang jalur tersebut hendaknya juga dibangun terminal bus secara terpadu dengan stasiun KA, antara lain di Beos, Pasar Senen, Klender I (sekarang didekatnya ada pangkalan angkot), Cakung (sekarang sudah ada terminal bayangan metro mini dan angkot), Kranji, Bekasi dan Cikarang. Di stasiun-stasiun tersebut hendaknya juga disediakan tempat parkir mobil pribadi dan motor (seperti di stasiun Bekasi), sehingga mereka yang menggunakan mobil pribadi atau motor dengan mudah bisa berpindah ke kendaraan umum bus kota atau KA. Dengan dibangunnya jalan raya Beos – Cikarang, sekurang-kurang ada tiga keuntungan, pertama dapat diwujudkan sub-sistem transportasi KA-bus kota terpadu sepanjang jalur tersebut; Kedua, dapat menambah panjang jalan yang tersedia di Jabodetabek; Ketiga, dapat memperpendek jarak Beos-Cikarang. Hal ini dapat dipastikan dapat mengurangi kemacetan di jalur-jalur lainnya, minimal pada jalur-jalur yang biasa dilewati para komuter dari Cikarang dan Bekasi menuju Jakarta.
Menerapkan manajemen lalu lintas yang baik
Prinsip manajemen yang baik adalah bekerja secara efektif dan efisien. Untuk mengukur suatu manajemen yang baik dapat dicontohkan dengan suatu tes secara sederhana. Tes pertama diperankan oleh seorang koki yang memasak makanan di dapur. Karena belum menggunakan manajemen yang baik, ia harus bergerak secara bolak balik dari meja, ke lemari tempat menyimpan bahan mentah dan bumbu, ke kran air, dan ke depan kompor. Dalam tes ini, kaki koki itu diolesi semacam kapur sehingga bisa meninggalkan jejak di lantai. Hingga selesai masak, koki itu menghabiskan waktu 25 menit dan terdapat 43 jejak telapak kaki; Tes kedua, menggunakan manajemen yang baik, ada perubahan tata ruang di dapur, lemari diganti rak yang digantung di atas meja, kompor berada di sebelah kiri meja dan kran di sebelah kanan. Dengan adanya perubahan ini ternyata koki dalam memasak hanya membutuhkan waktu 15 menit dan hanya meninggalkan 21 jejak kaki. Dengan penerapan manajemen yang baik terlihat adanya penghematan waktu dan tenaga (energi).
Model tes semacam itu dapat diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk pengaturan lalu lintas. Dalam pengaturan lalu-linats, penulis amati pada titik-titik kemacetan banyak yang disebabkan karena tidak menggunakan manajemen yang baik seperti pada tes tahap pertama. Banyak terminal bus/angkot atau perkantoran yang memiliki 2 pintu gerbang yang menjadikan pintu kedua dari arah datangnya kendaraan sebagai pintu masuk. Sedangkan pintu pertama justru dijakan pintu keluar.
Jika pintu kedua digunakan sebagai pintu masuk dan pintu kesatu sebagai pintu keluar, alokasi waktunya akan lebih lama dan jejak ban yang ada di jalan akan lebih panjang apabila dibandikan dengan menggunakan pintu kesatu sebagai pintu masuk dan pintu kedua sebagai pintu keluar. Pengaturan lalu-lintas seperti itu mengakibatkan bekas ban kendaraan akan membentuk simpul di jalan dan simpul ini akan menimbulkan kemacetan. Karena sebenarnya kendaraan yang masuk dan keluar dari tempat tersebut harus 2 kali melewati ruas jalan antara pintu kesatu dan pintu kedua. Sebaliknya jika pintu kesatu dijadikan pintu masuk dan pintu kedua dijadikan pintu keluar maka kendaraan yang masuk dan keluar dari tempat tersebut sebenarnya tidak pernah melewati ruas jalan antara pintu kesatu dan pintu kedua.
Kalau penerapan manajemen lalu-lintas yang boros waktu dan energy itu hanya pada satu gedung perkantoran saja dampaknya tidak begitu terasa. Tapi jika ada 10 gedung perkantoran yang letaknya berderet dan semuanya mengunakan pintu kedua sebagai pintu masuk dan pintu kesatu sebagai pintu keluar, apalagi jika jumlah kendaraan cukup banyak yang keluar masuk gedung-gedung tersebut, dapat kita bayangkan berapa banyak kendaraan yang dua kali melewati ruas jalan di depan setiap gedung perkantoran itu.
Oleh karena itu jika kita semua tidak menginginkan terjadinya kemacetan lalulintas, melalui tulisan ini penulis menghimbau kepada: (1) Para pejabat/aparat terkait dalam upaya penanggulangan kemacetan lalu lintas hendaknya tidak memilih solusi yang bersifat parsial, tetapi memilih solusi yang membentuk sub-sistem lalu-lintas yang lebih besar; (2) Para pengambil kebijakan tata ruang kota hendaknya meninjau kembali pembangunan kota yang melebar (horisontal) dan memilih pembangunan kota secara vertikal, layaknya pembangunan kota-kota yang modern; (3) Para pembuat kebijakan di pemda-pemda hendakanya tidak membuat kebijakan yang tidak bijaksana yang dapat menimbulkan menjamurnya PKL di jalanan; (4) Para petugas penertipan PKL dan lalu litas jalan raya hendaknya bisa berdisiplin dan tidak bermain sandiwara; (5) Para pembuat kebijakan terkait pemilihan pintu masuk kendaraan ke terminal dan gedung-gedung kantor hendaknya bisa segera mengubah pilihan yang kurang tepat itu.
Jika semua tindakan-tindakan yang menyimpang itu dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup karena gaji tidak mencukupi, hendaknya segera dibicarakan bersama wakil-wakil rakyat. Dengan demikian bisa dikalkulasi berapa sebenarnya gaji yang layak secara riil. Di era reformasi ini hendaknya wakil-wakil rakyat dan para pengambil kebijakan sudah bisa berfikir positif dan realistis dalam menentukan besarnya gaji dari orang nomor satu di negeri ini hingga orang nomor paling buntut. Karena kita ini hidup di dunia nyata, bukan di dunia hayal.***
Readmore - MENGURAI MASALAH KEMACETAN LALU LINTAS SECARA SISTEMIK