Friday, October 22, 2010

MAWAS DIRI, BENARKAH KITA SEBAGAI BANGSA YANG BESAR?

MAWAS DIRI, BENARKAH KITA SEBAGAI BANGSA YANG BESAR?
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Kita ini bangsa besar. Begitulah selalu bangsa lain melihat bangsa ini, apalagi dengan kekayaan alam dan budaya yang dimilikinya. Alamnya sangat cocok untuk pertanian ditambah tambang dan minyak yang dimilikinya. Indonesia diberikan kekayaan alam yang luar biasa yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Apalagi dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia merupakan pasar yang besar. (Marwah Daud Ibrahim, http://id-id.facebook.com/ topic.php?uid=40510165487 &topic=7800). Klaim-klaim Indonesia sebagai bangsa yang besar semacam itu belakangan ini (sejak terjadi ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia) demikian marak dikemukan orang baik dari kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Di telinga awam orang Indonesia, pernyataan seperti itu tentu tidak menimbulkan kesangsian sama sekali.
Tapi klaim-klaim semacam itu, di satu sisi, memang perlu, apalagi pada saat seperti sekarang ini, dimana bangsa kita sedang dilecehkan oleh bangsa lain. Karena, klaim semacam itu dapat menimbulkan kebanggaan dan dapat meningkatkan harga diri bangsa, serta dapat meningkatkan semangat juang untuk melawan pelecehan tersebut. Tapi di sisi lain kita tidak boleh terus menerus dimabuk klaim-klaim semacam itu, terutama bagi kalangan tertentu (yang berpendidikan tinggi).
Menurut hemat penulis, bagi kalangan berpendidikan tinggi perlu mengetahui kondisi riil bangsa kita sendiri, apakah benar bangsa kita sekarang ini sebagai bangsa yang besar? Hal ini penting diketahui, karena pertama, bagaimana kita bisa mengukur kekuatan lawan, jika kita tidak bisa mengukur kekuatan sendiri. Kedua, jika kita tidak mengetahui kondisi bangsa sendiri bagaimana kita bisa berbenah diri.
Indikator Bangsa yang Besar
Bangsa yang besar bukanlah sekedar bangsa yang memiliki wilayah negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar, seperti yang kita miliki. Apalagi jika kekayaan alam, seperti pertambangan dan daerah perkebunan sudah dikuasai perusahaan mulitinasioanal milik asing. Karena itu sebenarnya kebesaran suatu bangsa lebih ditentukan oleh keunggulan dalam penguasaan soft power dan hard power. Tapi apabila suatu bangsa, telah unggul dalam penguasaan soft power dan hard power maka luas wilayah negara dan jumlah penduduk yang sedemikian rupa akan melengkapi kebesarannya.
Yang dimaksud dengan soft power adalah kekuatan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi; sedangkan hard power adalah kekuatan di bidang kemiliteran, meliputi penguasaan persenjataan (alutsista) termasuk teknologinya, dan kekuatan personil militer baik jumlah (kuantitas) maupun kualitasnya.
Dengan indikator tersebut kita dapat mengukur di mana posisi bangsa kita, apakah bangsa kita benar-benar sebagai bangsa yang besar atau klaim-klaim bahwa kita adalah bangsa yang besar hanyalah suatu klaim pelipur lara saja.
Dalam penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya kita tidak kalah dibandingakan dengan bangsa Malaysia, buktinya masih banyak mahasiswa dari negeri Jiran yang menuntut ilmu di berbagai bidang di Indonesia. Tapi di bidang ekonomi, kita harus akui kita sudah jauh tertinggal dibandingkan mereka, indikatornya gaji pegawai negeri dan upah buruh di Indonesia jauh di bawah gaji pegawai negeri dan upah buruh di sana.
Disinilah kita perlu menyadari, bahwa akibat dari lemahnya ekonomi kita ini, banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) unskill (buruh kasar di perkebuan dan pembantu rumah tangga) yang berburu ringgit di sana. Karena jumlah TKI unskill yang begitu banyak mencari kehidupan di negeri Jiran, akibatnya jiran kita itu memandang rendah bangsa kita, dan mereka menyebut para TKI itu dengan sebutan inferior, “Indon”. Selain itu, (akibat dari lemahnya ekonomi) pemerintah kita tidak mampu menghargai para cerdik pandai dengan penghargaan yang sepantasnya, sehingga tidak sedikit para cerdik pandai yang kita miliki kabur ke negara lain. Mereka akhirnya dimanfaatkan kepandaiannya oleh bangsa-bangsa lain yang mampu membayar mereka dengan layak. Ini tentu saja di satu sisi akan menghambat langkah kemajuan bangsa kita, dan di sisi lain semakin mendorong kemajuan bangsa yang mampu menggaji mereka.
Berkenaan dengan keunggulan penguasaan hard power, kekuatan personil, bagi bangsa kita yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, dilihat dari ketersediaan SDM, tidak masalah. Pemerintah akan merekrut berapa saja personil militer tidak akan kekurangan. Demikian pula jika dilihat dari semangat juang anak bangsa, negeri ini tidak akan kekurangan personil militer, apalagi sampai membangun legiun asing (foreign legion). Itu sangat tidak perlu. Sebagaimana beberapa waktu yang lalu tanpa ada rekrutmen dari pemerintah, begitu hubungan Indonesia-Malaysia mengalami ketegangan, serta merta banyak anak-anak muda yang siap menjadi sukarelawan. Memang jauh berbeda jika dilihat dari kemampuan keuangan negara, apakah pemerintah mampu merekrut calon personil militer sehingga negeri ini memiliki jumlah personil militer yang seimbang dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Negara?
Untuk alutsista, karena budaya korupsi yang sudah merajalela sejak era orde baru, maka banyak terjadi belanja alutsista fiktif. Ketika BJ Habibie menjadi presiden kaget sekali melihat alutsista yang ada sudah ketinggalan jaman dan jumlahnya tidak memadai. Bahkan akhir-akhir ini sering terjadi kecelakaan pesawat tempur, yang disebabkan oleh banyaknya pesawat tempur yang sudah usang dan sebenarnya juga sudah tidak laik terbang. Tapi apa mau dikata bak pepatah “tidak ada rotan akar pun jadi”, tidak ada pesawat yang baru, pesawat usang pun jadi. Akibatnya, banyak pahlawan yang gugur bukan di medan perang.
Kekurangan alutsista juga terlihat di lautan, banyak pintu-pintu gerbang laut dan selat yang tidak terjaga, sehingga banyak tamu tidak diundang berbondong-bondong memasuki wilayah lautan kita untuk menjarah kekayaan alam kita. Sekalinya laut itu dijaga, yang jaga pasukan tanpa senjata. Sehingga layaknya panggung dagelan, “apa tumon, sekuriti koq digondol maling?” (apa gak aneh, sekuriti koq dibawa lari sama maling?). Tapi itulah faktanya, kejadian penculikan penjaga keamanan laut kita yang dilakukan oleh “malingsia”. Peristiwa tersebut berbuntut pada munculnya ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia beberapa waktu yang lalu.
Langkah-langkah menuju bangsa yang besar
Jika kita ingin menjadi bangsa yang besar bisa kita awali dari penguasaan shoft power atau unggul dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Untuk itu kita perlu membenahi sistem pendidikan kita, antara lain meliputi kurikulum, meningkatkan SDM tenaga pengajar, dan sarana fisiknya. Dalam upaya pembenahan kurikulum, kita tidak perlu buang-buang waktu, tenaga dan pikiran, apalagi membuang banyak dana dengan metode “kelinci percobaan” seperti yang terjadi selama ini. Akibat dari itu semua, muncul kata-kata sumbang “setiap ganti menteri ganti kurikulum”. Untuk itu kita cukup melakukan bench marking atau remodeling dari kurikulum yang dimiliki bangsa lain yang berhasil dalam dunia pendidikan, seperti Inggris yang kurikulumnya tidak pernah diubah sejak sebelum revolusi industry; atau menyontoh Jepang yang juga berhasil dalam dunia pendidikan, sehingga dengan hanya menguasai soft power saja bisa menjadi bangsa yang besar.
Untuk meningkatkan SDM kita memang sudah pada saatnya menghargai guru (tenaga pengajar dari tingkat SD-perguruan tinggi). Sudah bukan saatnya lagi kita menjadikan guru sebagai sosok “wagu lan kuru” (culun dan kurus karena gajinya kecil), juga sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru harus kita hargai dan kita hormati dengan memberikan gaji yang lebih dari cukup, sehingga kita bisa merekrut tenaga guru dari mereka yang lulus terbaik, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Untuk sarana fisik, jangan sampai ada lagi syair tentang “gedung sekolah yang seperti kandang ayam”. Caranya bukan dengan memarahi profesor yang membaca syair, tapi dengan pembangunan secara riil gedung-gedung sekolah yang representatif.
Selain itu, untuk meningkatkan keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kita perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM peneliti dan kegiatan basic research. Peningkatan kuantitas (jumlah) SDM peneliti ini sangat perlu karena jumlah peneliti kita yang paling rendah di antara negara-negara Asean. Meskipun jumlah total peneliti Indonesia terbesar di antara negara-negara Asean (42.722 orang), tapi jika dihitung per juta penduduk, peneliti Indonesia hanya 199, masih di bawah Tailan (292), Malaysia (503) dan jauh dibawah Singapura (5.713). Berdasarkan data statistic UN-ESCAP (2009) posisi Indonesia juga masih di bawah Iran (947) dan Pakistan (310) (Subejo, The Jakarta Post, 02 Jul 2010)
Perlu diketahui bahwa jumlah peneliti yang dimiliki suatu negara memiliki korelasi yang kuat dengan kemajuan negara tersebut. Contoh: Singapura sebagai negara yang paling maju di Asia Tenggara memiliki peneliti terbanyak dibandingkan negara-negara lain di kawasan tersebut; Jepang memiliki peneliti terbanyak di Asia setara dengan yang dimiliki AS dan negara-negara maju di Eropa Barat. Untuk peningkatan kuantitas dan kualitas SDM peneliti ini perlu adanya keseriusan para pejabat pengambil kebijakan.
Selama ini kebijakan manajemen kegiatan penelitian – meliputi penyediaan dana dan alokasi waktu kegiatan – menunjukkan ketidakseriusan para pembuat kebijakan. Jika dilihat dari jumlah anggaran penelitian yang disediakan pemerintah, pada tahun anggaran 2010, anggaran penelitian kita masih dibawah 1% dari total anggaran (0,07%), jauh di bawah Singapura (2,36%), Malaysia (0,63%), Thailand (0,25%), dan Vietnam (0,19%)(Subejo,ibid).
Dengan anggaran ala James Bond (0,07%) di negeri ini masih sering terjadi tarik menarik kepentingan atara pejabat pembuat kebijakan dan peneliti, terutama berkaitan dengan alokasi waktu kegiatan penelitian, dimana para pembuat kebijakan menghendaki alokasi waktu yang sependek-pendeknya, sedangkan para peneliti menginginkan alokasi waktu yang lebih panjang. Menurut hemat penulis, dalam hal ini sebenarnya tidak perlu adanya debat kusir seperti itu, melainkan cukup melakukan bench marking dari kebijakan manajemen penelitian di negara-negara maju (kalau kita ingin maju). Cara ini lebih arif dan sesuai dengan prinsip “win-win solution”. Selain itu, perlu juga pemberian gaji yang lebih dari cukup bagi para peneliti. Sehingga dalam hal ini, pemerintah juga bisa merekrut untuk SDM peneliti dari mereka yang lulus terbaik.
Untuk pembenahan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi rakyat, para pengambil kebijakan juga bisa berguru kepada mantan murid kita (Malaysia) yang sekarang sudah lebih pintar dan sukses dibandingkan gurunya. Yang sebenarnya kunci keberhasilan pemberdayaan ekonomi rakyat yang dilakukan tetangga kita itu adalah dari pemberian gaji pegawai/upah buruh yang lebih dari cukup. Dengan gaji yang seperti itu ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, antara lain: (1) Meningkatnya daya beli masyarakat, sehingga berbagai macam industri bisa tumbuh dan berkembang dengan baik; (2) Pegawai dan buruh di sana bisa membuka lapangan kerja minimal dua orang bagi setiap keluarga, yaitu pembantu rumah tangga (PRT) dan sopir pribadi. Gaji yang diberikan kepada PRT dan Supir juga lebih dari cukup; (3) Para penerima gaji (dari kalangan kerah putih sampai kerah biru, bahkan hingga pekerja un-skill seperti PRT dan buruh perkebunan) dapat menabung setiap bulan; (4) Dari kemampuan menabung ini, masyarakat di sana secara ekonomi bisa tumbuh dan berkembang, sehingga muncul kelas menengah yang tidak hanya mampu membangun usaha di dalam negeri saja, tapi juga membuka usaha atau investasi di negara-negara lain, termasuk di negara kita.
Sudah saatnya kita sekarang mawas diri. Apakah kebijakan “bermiskin ria” yang selama ini dilaksanakan di negeri ini masih akan kita lestarikan, dan kita biarkan anak-anak bangsa harus berburu real di Timur Tengah, berburu ringgit di negeri Jiran yang tidak jarang diantara mereka menerima nasib yang menyedihkan, disiksa, dilecehkan, diperkosa dan bahkan tidak sedikit yang pulang tinggal jasad. Kalau kita memang ingin menjadi bangsa yang besar, unggul dalam penguasaan soft power dan hard power, kita tidak perlu malu-malu belajar kepada siapapun termasuk kepada murid kita yang memang sekarang sudah lebih pintar dan lebih maju dari gurunya.
Dengan mawas diri dan meninggalkan kebijakan-kebijakan yang kurang kondusif terhadap kemajuan, serta mau berguru kepada siapapun, termasuk kepada musuh, semoga kita bisa menjadi bangsa yang besar.***
Readmore - MAWAS DIRI, BENARKAH KITA SEBAGAI BANGSA YANG BESAR?

Friday, October 15, 2010

JIKA KITA SAMA-SAMA BERFIKIR POSITIF

JIKA KITA SAMA-SAMA BERFIKIR POSITIF
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Selama ini sering kita dengar para pejabat terutama pejabat tinggi menganjurkan agar kita semua bisa berfikir positif. Anjuran tersebut utamanya ditujukan kepada para aktivis yang sering mengkritisi kinerja pemerintah, agar mereka tidak selalu memandang kekurangannya saja tetapi juga bisa melihat kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai pemerintah. Tentu saja anjuran itu sangat baik agar semua komponen bangsa ini lebih optimis dalam menyongsong masa depan. Tapi sayangnya, para pejabat sendiri justru belum bisa berfikir positif, dengan kata lain masih sering berfikir negatif. Cara berfikir negatif para pejabat ini tampak, antara lain ketika mereka memandang jumlah rakyat dan pegawainya yang sangat besar, serta wilayah negaranya yang sangat luas. Mereka selalu memandang hal tersebut sebagai beban.
Cara berfikir para pejabat – khususnya para decision maker (pembuat kebijakan) – yang negatif ini sangatlah merugikan bagi seluruh rakyat Indonesia dan bagi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan keterpurukan bangsa ini dan ketertinggalannya dibandingkan bangsa-bangsa lain dapat diduga merupakan akibat dari cara berfikir negatif para pejabat. Karena dari cara berfikir negatif para pejabat yang demikian (memandang luas wilayah, jumlah rakyat dan pegawai semuanya sebagai beban), maka dasar pengambilan kebijakannya pun berpangkal dari beban yang ditanggung pemerintah. Sehingga orientasi kebijakan yang diambil pun sekitar pengurangan beban tersebut.
Selain itu, cara berfikir negatif para pejabat itu juga mengindikasikan kurang seriusnya mereka mengemban amanat rakyat. Karena dengan cara berfikir negatif itu para pejabat dengan mudah berkilah atas kekurangmampuan dan kegagalannya dengan mengkambinghitamkan jumlah rakyat dan pegawainya yang sangat besar serta wilayah negara yang sangat luas. Sebenarnya berfikir negatif tentang jumah rakyat dan pegawai yang sangat besar, terutama terhadap wilayah negara yang sangat luas itu sama saja dengan sikap kurang (kalau tidak boleh dikatakan tidak) mensyukuri nimat yang telah diberikan oleh Tuhan kepada bangsa ini.
Yang perlu ditekankan bahwasanya jumlah rakyat dan aparat/pegawai yang sangat besar, serta wilayah yang sangat luas dari Sabang hingga Merauke – setara dengan rentang wilayah Benua Eropa dari batas paling barat sampai batas paling timur – adalah merupakan nikmat kebesaran bangsa yang sudah given. Meskipun hal itu bukan indikator utama bagi bangsa yang besar. Tapi jika bangsa ini memiliki keunggulan soft power (ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi) dan hard power (kekuatan militer), maka jumlah rakyat dan luas wilayah itu akan melengkapi kebesaran bangsa kita.
Dalam menetapkan besaran gaji PNS, kebijakan pemerintah juga berangkat dari beban. Sebagai ilustrasi, setelah 10 tahun tidak ada penyesuaian gaji PNS, sementara dalam satu dasa warsa itu telah terjadi inflasi 15%, tentu sudah waktunya ada penyesuaian gaji. Logikanya untuk penyesuaian gaji PNS harus dinaikan 15% dari gaji pokok. Tapi ketika ada usulan penyesuaian gaji 15% dari gaji pokok, setelah dihitung-hitung 15% kali total gaji pokok PNS seluruh Indonesia, yang muncul berapa kenaikan beban yang harus ditanggung pemerintah? Kemudian penyesuaiannya tidak 15%, tapi hanya 10%. Bahkan belakangan ini sering kenaikannya tidak ditambahkan pada gaji pokok, karena kalau gaji pokok naik, kelak pensiunannya juga ikut naik. Alasanya selalu dikaitkan dengan berapa beban yang harus ditanggung pemerintah? Oleh sebab itulah gaji pegawai di negeri ini sangat jauh dibandingkan dengan misalnya, gaji pegawai di negeri Jiran. Padahal dengan gaji yang rendah pegawai negeri (akibat dari cara berfikir negatif) rakyat Indonesia menjadi tidak berdaya, menjadi terpuruk dan semakin tertinggal bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Hal ini akan sangat berbeda jika para pembuat kebijakan bisa berfikir positif, maka mereka akan melihat bahwa luas wilayah, jumlah rakyat dan pegawai adalah aset. Sehingga kebijakan yang muncul adalah bagaimana mengelola aset ini supaya lebih berkembang dan semakin menguntungkan. Jika melihat jumlah pegawai ini sebagai aset yang bisa diberdayakan, maka pemberian gaji kepada pegawai bukan sebagai beban lagi, melainkan sebagai investasi. Dengan demikian semakin besar gaji yang diberikan kepada para pegawai, maka semakin besar pula investasi yang ditanam oleh pemerintah. Sehingga anak cucu kita kelak akan dapat menuai investasi yang ditanam pemerintah sekarang dengan hasil yang berlipat ganda. Sebaliknya, jika yang ditanam pemerintah adalah beban, maka anak cucu kita akan menuai beban yang berlipat ganda pula.
Logika penanaman investasi melalui gaji pegawai ini sangatlah sederhana. Jika pegawai di negeri ini memperoleh gaji lebih dari cukup meliputi seluruh kebutuhan hidup, yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, sosial, agama, dan rekreasi, maka pada tahap kecukupan pertama, para pegawai akan dapat merekrut minimal 2 tenaga kerja (pembantu rumah tangga dan sopir pribadi). Karena gaji para pegawai cukup besar, mereka pun akan mampu menggaji PRT dan sopirnya cukup besar pula. Tidak seperti sekarang gaji PRT dan sopir pribadi sekitar Rp 600 – 800 ribu/bulan.
Jika pemerintah bisa membuat dan melaksanakan kebijakan seperti itu, sama dengan pemerintah telah membuat hujan emas di negeri sendiri. Sehingga TKI/TKW kita tidak perlu mencari hujan emas di negeri jiran, yang pada kenyataannya bukan hujan emas yang mereka terima, melinkan penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan perkosaan dan pembunuhan. Gaji pegawai dan upah buruh yang lebih dari cukup juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Selanjutnya akan perdampak positif pada perkembangan ekonomi, karena berbagai macam/jenis industri yang sudah ada akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Dengan gaji pegawai yang lebih dari cukup, mereka akan menabung sisa gajinya. Jika tabungannya sudah cukup banyak, berarti mereka telah memasuki tahap kecukupan kedua, mereka akan membuka usaha, semisal home industry, peternakan, perikanan, perdagangan, biro jasa dan lain-lain. Bukan tidak mungkin pada tahap ini mereka (yang memiliki feeling bisnis yang baik) sudah bisa melakukan usaha joint venture bersama teman-teman mereka, sehingga mereka bisa mewujudkan bentuk usaha yang cukup besar.
Pada tahap kecukupan ketiga, mereka sudah bisa merambah usaha yang besar seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, atau menjadi manufacturer dan lain-lain. Dalam tahapan ini akan dapat tumbuh secara alami dari kalangan kelas menengah kebawah menjadi kelas menengah keatas atau pengusaha bersekala besar (patrisia kota), yang selama ini nyaris tidak pernah ada pertumbuhan semacam itu. Sebagaimana selama ini ditunggu-tunggu oleh Richard Tanter dan Kenneth Young dalam bukunya The Politics of Middle Class Indonesia.
Dari mereka yang tumbuh secara alami menjadi kelas menengah keatas itu ada harapan dari bangsa ini untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Karena mereka akan menjadi penyeimbang bahkan menjadi benteng masuknya konglomerat asing. Sehingga mereka akan menjadi majikan di negeri sendiri. Sehingga para TKI tidak perlu lagi berburu ringgit ke negeri Jiran, berburu dolar ke Hongkong, atau berburu real ke Arab Saudi, tapi cukup di negeri sendiri bisa menjala rupiah sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi jika penguasa di negeri ini tetap berfikir negatif sehingga bangsa kita tetap terpuruk maka para TKI akan tetap berbondong-bondong mengadu nasib di negeri orang. Lebih mengenaskan lagi jika informasi yang pernah penulis terima (sekian tahun yang lalu) dari seorang ketua ormas Islam di Sumatera Utara ternyata benar, bahwa ada sekitar 28 juta hektar perkebunan di Sumatera Utara sudah dikuasai oleh cukong-cukong dari negeri Jiran. Jika itu benar tentu sekarang perkebunan yang dikuasai cukong-cukong asing itu sudah semakin luas. Yang memprihatinkan kelak, buruh-buruh kita baik kerja di luar negeri maupun di dalam negeri majikannya sama, yakni orang asing. Lalu di mana letak martabat bangsa ini? Apakah bangsa ini memang ditakdirkan menjadi budak-budak bagi bangsa-bangsa lain baik di luar maupun di dalam negeri? Selanjutnya, sumonggo kersa paduka ingkang kuwaos wonten negari menika. Kawula namung nyadong dawuh.***
Readmore - JIKA KITA SAMA-SAMA BERFIKIR POSITIF

Saturday, October 9, 2010

BELAJAR KEPADA MALAYSIA

BELAJAR KEPADA MALAYSIA
Oleh: Haidlor Ali Ahmad
Uniknya Hubungan Indonesia-Malaysia
Hubungan Indonesia-Malaysia cukup unik, mengalami pasang surut, dari hubungan yang harmonis, saling tolong menolong hingga hubungan yang konfrontatif. Pertama hubungan bangsa serumpun, karena kedua bangsa ini sama-sama rumpun Melayu. Hubungan antara dua bangsa ini sering disebut sebagai saudara serumpun; Kedua, sebagai tetangga, sehingga bangsa Indonesia menyebut bangsa Malaysia dengan sebutan Jiran (tetangga); Ketiga, sebagai musuh, ketika bangsa Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia; Keempat, hubungan antara guru-murid. Pada masa konfrontasi sudah banyak cerdik cendekiawan dari Indonesia yang mengajar di negeri semenanjung itu, apalagi setelah rujuk dan tidak konfrontasi lagi, banyak mahisiswa Malaysia yang belajar di Indonesia; Kelima, kembali menjadi sahabat, hubungan dua bangsa ini bertambah semakin akrab. Antara dua bangsa serumpun ini saling tolong-menolong. Sesama rumpun Melayu, bangsa Indonesia ikut prihatin terhadap ketertinggalan saudaranya di negeri semenanjung itu dibandingkan dengan etnis-etnis lain. Oleh karena itu, bangsa Indonesia begitu bersemangat membantu saudaranya untuk memenangkan Pemilu, sehingga dikirimlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke sana secara besar-besaran.
Keenam, dalam hubungan tolong-menolong terjadi hubungan symbiotic (saling menguntungkan). Di satu sisi, etnis Melayu di sana dapat memenangkan pemilu, sehingga partai orang Melayu menjadi partai penguasa. Selain itu perkebunan di negeri semenanjung itu berkembang dengan pesat; Di sisi lain, pemerintah Indonesia yang menghadapi masalah pengangguran mendapatkan solusi pasar kerja ke sana; Ketujuh, rupa-rupanya hubungan yang saling menguntungkan itu tidak berjalan seimbang. Hal ini tentu saja dapat dijelaskan dengan gampang. Karena, berapa banyak keuntungan yang peroleh Indonesia dengan mengirimkan tenaga un-skill, dibandingkan dengan Malaysia yang memperoleh keuntungan dari para majikan alias cukong-cukong pemilik perkebunan. Maka, bangsa Malaysia semakin kaya raya, sedangkan bangsa kita berjalan di tempat (kalau tidak boleh dikatakan semakin tambah miskin). Akibatnya, hubungan antara Indonesia-Malaysia kembali kurang harmonis. Sebagai majikan, bangsa Malaysia pun menjadi angkuh, mereka menyebut TKI dengan sebutan “Indon” yang merupakan sebutan inferiority (merendahkan); Kedelapan, setelah menjadi semakin kaya, orang-orang Melayu di semenanjung itu pun lupa bahwa mereka sukses melalui kemenangan dalam pemilu dari dukungan suara para imigran TKI. Mereka juga lupa bahwa dulunya sebagai murid, mereka banyak belajar dari Indonesia. Sehingga, murid yang songong (tidak tahu sopan santun) ini makin hari makin ngelonjak (tidak tahu diuntung). Banyak TKI yang disiksa, dilecehkan, diperkosa, bahkan dihilangkan nyawanya. Bukan itu saja, berbagai warisan seni-budaya bangsa Indonesia mereka klaim sebagai seni-budaya mereka. Belum puas dengan itu, mereka rebut Pulau Sipadan dan Ligitan, serta memancing-mancing persoalan di Blok Ambalat.
Belakangan hubungan Indonesia-Malaysia semakin kurang baik, bahkan kedaulatan NKRI pun dilecehkan, yakni penculikan dan perlakuan yang kurang bersahabat yang dilakukan polisi diraja Malaysia terhadap petugas patroli laut Indonesia. Akibatnya, berbagai komponen bangsa ini berang dengan melakukan demo, bahkan ada yang siap menjadi sukarelawan untuk mengganyang Malaysia. Tapi pemerintah Indonesia terlihat gamang, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Kegamangan pemerintah ini dapat dimaklumi, karena dalam hal ini pemerintah Indonesia dihadapkan pada suatu dilema, menuruti kemarahan rakyat salah, tidak menuruti juga salah, karena posisinya memang serba salah. Pertama, untuk berperang pemerintah Indonesia memang belum siap. Antara lain karena alutsista yang kurang memadahi. Ketika BJ Habibie jadi presiden sangat kaget melihat kondisi alutsista yang ada, baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Ketidaklayakan alutsista itu semakin menampakkan jati diri ketika kecelakan pesawat militer terjadi berulang-ulang kali; Kedua, bagaimana pun juga Malaysia adalah majikan dari ratusan ribu TKI kita. Jika sampai terjadi konflik terbuka, mau dikemanakan TKI kita? Jika mereka dieksodus dari Malaysia, mereka hanya akan menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia; Ketiga, Malaysia termasuk anggota negara-negara Persemakmuran, sudah pasti banyak teman dan pembelanya. Sementara negara kita sebagai negara bebas aktif, sehingga belum ketahuan negara mana yang akan bersimpati.
Oleh karena itu, untuk sementara hendaknya kita bisa melupakan pelecehan yang telah dilakukan bangsa lain itu. Sebaliknya, hendaknya bangsa ini bisa bersikap lebih arif, sehingga bisa mawas diri, dan berbenah diri. Dalam hal ini ada kearifan lokal yang dimilki rakyat negeri ini “musuh adalah guru yang bijaksana”. Sehingga bangsa ini tidak keberatan belajar kepada Malaysia, agar bangsa ini bisa kembali lebih jaya dibandingakan –minimal– dengan tetangga.
Bangsa Indonesia bisa belajar kepada Malaysia dalam banyak hal, antara lain:
1. Tentang pemberdayaan rakyat, dalam hal ini Malaysia termasuk Negara yang berhasil dalam pemberdayaan rakyat dan ini merupakan kunci keberhasilan Malaysia. Dalam upaya pemberdayaan rakyat ini Malaysia melakukannya melalui (a) Jalur pendidikan. Oleh karena itu mereka menjadi murid dari siapapun termasuk murid dari bangsa Indonesia. Memang mujur bagi negeri di semenanjung ini, ketika datang seorang konsultan pendidikan ke Indonesia dan menghadap kepada presiden (pada waktu itu). Tapi apa jawaban presiden kurang lebih “Maaf, kami sedang konsentrasi pada pembangunan ekonomi, untuk mengejar ketertinggalan bangsa kami dari bangsa-bangsa lain”. Maka konsultan pendidikan tersebut menghadap perdana menteri negara tetangga yang doktor itu, tanpa babibu, diterimalah konsultan tersebut. Dengan kerja serius konsultan dan adanya gayung bersambut dari perdana menteri dan seluruh rakyatnya, bak main sulap, sim salabim, sang murid pun dalam sekejap sudah lebih pintar dari gurunya; (b) melalui penghargaan terhadap rakyat yang diwujudkan dengan pemberian gaji (remunerasi) baik kepada pegawai negeri maupun buruh yang lebih dari cukup meliputi seluruh aspek kehidupan, yakni kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, sosial, kesehatan, dan rekreasi. Dengan gaji yang lebih dari cukup, ekonomi kerakyatan Malaysia dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat. Sehingga rakyat Malaysia tumbuh menjadi kuat dengan semakin banyaknya kelas menengah. Sekarang ini pertumbuhan ekonomi kelas menengah Malaysia sudah go international. Seorang tokoh pimpinan ormas dari Sumatera Utara mengatakan kepada penulis beberapa tahun yang lalu, bahwa ada sekitar 28 juta hektar perkebunan di Sumatera Utara sudah dibeli oleh cukong-cukong dari negeri Jiran.
2. Tentang investasi. Investasi rupa-rupanya sudah menjadi tradisi di negeri Jiran, karena pegawai negeri dan buruh memiliki gaji lebih dari cukup, dan sisanya biasa ditabung (saving) yang selanjutnya diinvestasikan. Rupa-rupanya tradisi investasi itu bukan tradisi kecil-kecilan, sehingga dana haji di sana juga diinvestasikan di perkebunan di Kalimantan Barat (informasi dari seorang pimpinan ormas di Kalimantan Barat). Dengan investasi tersebut di masa mendatang biaya haji di sana sudah pasti akan semakin murah tapi pelayanannya semakin prima, dengan hotel yang mewah dan dekat dengan Masjid Al-Haram. Dalam hal ini hendaknya pemerintah Indonesia cq kementerian terkait dapat belajar dari Malaysia, Dana Abadi Umat (DAU) yang kita miliki jangan disimpan di bawah bantal saja. Tapi hendaknya bisa diinvestasikan seperti dana haji di negeri Jiran. Kenapa mereka bisa, kita tidak? Makanya gak usah malu-malu, mari kita belajar kepada murid kita yang sekarang sudah lebih pandai!!!***
Readmore - BELAJAR KEPADA MALAYSIA

APAKAH ANDA BAYANGAN DARI WIBISANA ATAU KUMBAKARNA

APAKAH ANDA BAYANGAN DARI WIBISANA ATAU KUMBAKARNA
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Berdasarkan etimologi, kata wayang berasal dari kata ayang-ayang (bayang-bayang). Wayang merupakan suatu pertunjukan drama boneka bayangan dari karakter dan perilaku manusia di dunia. Meski pada perkembangan selanjutanya ada pagelaran wayang yang diperagakan oleh manusia, yakni wayang orang (wayang wong). Namun pada dasarnya “cerita” (lakon) dan tokoh dalam pewayangan tetap merupakan cerminan (sanepan) dari karakter manusia dan perjalanan hidup atau lakon–nya. Sebagai ilustrasi, laki-laki yang secara fisik gagah perkasa dan memiliki karakter pemberani, mempunyai tekad yang kuat, tidak mau kompromi terhadap tindak kejahatan, berperilaku dan bertutur kata sedikit agak kasar tapi baik, orang yang seperti itu dianggap sebagai wewayangane (bayangan dari) Bima. Laki-laki yang berwajah ganteng dan digandrungi banyak wanita dianggap sebagai bayangan Arjuna. Sedangkan perempuan yang lincah, gesit, pemberani dan suaranya lantang dianggap sebagai bayangan dari Srikandi.
Selain tokoh-tokoh dari cerita Mahabarata ada dua tokoh dari cerita Ramayana yang menarik untuk dijadikan cerminan apalagi jika dikaitkan dengan kontek tema besar tulisan ini “Membangun Bangsa yang Besar”. Karena dua tokoh ini sangat cocok sebagai cerminan bagi para pemimpin atau para pejabat. Dua tokoh dimaksud adalah Bambang Wibisana dan Kumbakarna.
Bambang Wibisana adalah satu-satunya dari empat bersaudara kakak beradik dari keluarga Rahwana (Dasamuka) yang tidak berwujud diyu (raksasa). Ia seorang satria pembela kebenaran. Meskipun tubuhnya kecil, ia pemberani dan bersikap tanpa kompromi terhadap tindak kejahatan. Oleh karena itu, ketika Rahwana (sang kakak) menculik Dewi Sinta, dalam suatu rapat keluarga kerajaan, ia langsung memrotesnya dan menyarankan agar Sinta dikembalikan kepada suaminya, Rama Wijaya. Tentu saja Rahwana sangat murka, tapi Wibisana tetap bersikeras menyarankan agar Sinta dikembalikan untuk menghindari terjadinya peperangan. Sebagai raja yang sakti, memiliki aji pancasona, Rahwana semakin marah menjadi-jadi dan mengusir Wibisana. Rahwana menganggap Wibisana sebagai orang yang takut perang, sehingga disarankan agar bergabung bersama balatentara Rama.
Sebaliknya, sosok Kumbakarna adalah seorang raksasa yang bertubuh sangat besar. Ia pun ikut menyarankan agar Sinta dikembalikan. Tapi ketika sang kakak sangat murka ia hanya menunduk, tidak berani menatap mata kakaknya. Seusai pertemuan keluarga kerajaan itu, ia menyatakan mengundurkan diri dari urusan kerajaan dan melakukan tapa tidur. Ritual tapa tidur yang dilakukan Kumbakarna ini berakhir ketika bala tentara Rama yang berupa pasukan kera datang menyerbu kerajaan Alengka. Untuk membangunkan Kumbakarna tidaklah gampang, berbagai bunyi-bunyian di tabuh, terompet ditiup di depan lubang telingnya, tapi ia tidak juga mau bangun. Ia baru bangun ketika bulu yang ada di jempol kakinya dicabut.
Setelah bangun kemudian ia minta disiapkan hidangan makanan yang enak-enak dan sangat banyak. Setelah kenyang barulah ia maju ke medan perang. Di medan perang Kumbakarna dikeroyok oleh ratusan kera yang dipimpin oleh kera sakti, Hanoman. Akhirnya Kumbakarna gugur setelah hidungnya digigit oleh Hanoman hingga putus dan seluruh tubuhnya tercabik-cabik oleh gigitan ratusan ekor kera. Kumbakarna terbunuh secara mengenaskan yang merupakan karma dari perbuatan ayahnya, Resi Wisrawa yang pernah membunuh lawannya dengan cara aniaya. Apakah Kumbakarna gugur sebagai pahlawan? Apakah dia seorang patriot sejati? Ternyata setelah jasadnya dikremasi, dia tidak bisa moksa, arwahnya tidak diterima oleh para dewa di kahyangan. Agar bisa moksa ia harus menyatukan diri dengan Bima.
Kenapa Kumbakarna yang gugur di medan perang tidak bisa menjadi pahlawan dan arwahnya tidak bisa diterima oleh para dewa? Untuk itu, kita perlu mengetahui filosofi di balik sosok raksasa Kumbakarna. Pertama, ketika Wibisana diusir dari istana, Kumbakarna menjadi kecut nyalinya. Ia membayangkan bagaimana jika dirinya juga diusir. Sebagai orang yang doyan makan, ia merasa takut kapiran (keblangsak) tidak memperoleh jatah makan dari istana. Kumbakarna dalam bahasa agama (Islam) dapat dikategorikan sebagai orang yang “hubud dunya wa karahiyatul maut” (cinta dunia dan takut mati). Dalam diri Kumbakarna, kecil sekali hasratnya untuk membela kebenaran. Ketika menghadapi tantangan, ia pun mengurungkan niatnya membela kebenaran dan memilih untuk mencari selamat. Nafsunya terhadap dunia cenderung berlebihan, sehingga ia lebih memilih cari selamat dan masa bodoh terhadap urusan orang lain.
Kedua, perbuatan bertapa tidur menunjukkan bahwa ia dalam mencari selamat memilih menutup mata dan telinga, tidak mau peduli terhadap kejahatan dan penderitaan rakyat. Karena kecintaannya yang berlebihan terhadap kenikmatan duniawi, mengakibatkan ia menjadi demikian dungu. Kedunguan itu tercermin dari betapa sulitnya membangunkan Kumbakarna dari tapa tidur. Ketiga, sebelum maju perang Kumbakarna minta disediakan makanan yang lezat-lezat dengan jumlah yang banyak. Ini menunjukkan pamrih (interes) pribadi yang tinggi di balik dari apa yang akan dikerjakan. Keempat, perang yang dilakoninya di pihak yang salah, meski ia katakan bahwa ia berperang bukan karena membela Rahwana tapi membela negara. Kelima, benarkah Kumbakarna berperang untuk membela Negara? Padahal negara itu terbentuk dari tiga unsur, yakni rakyat, wilayah (territory) dan pemerintah. Sedangkan Kumbakarna bersikap dungu (menutup mata dan telinga) terhadap nasib rakyat.
Sosok raksasa yang besar mencerminkan bahwa orang (pejabat) yang memiliki karakter dungu seperti Kumbakarna ini jumlahnya banyak sekali. Sebaliknya sosok satria pahlawan pembela kebenaran sejati meski dieksodos tetap tegar melawan kebatilan. Sayangnya pahlawan pembela kebenaran, yang peduli terhadap nasib orang lain, terutama nasib rakyat ini bertubuh kecil. Fisik yang kecil ini bisa dimaknai, bahwa orang yang berjiwa seperti Wibisana ini jumlahnya hanya sedikit.
Selanjutnya marilah kita mawas diri, apakah kita ini bayangan dari Bambang Wibisana yang berani mengatakan yang benar meskipun pahit (kulil haq walau kana murran). Atau kita ini termasuk orang yang sok membela negara, padahal sebenarnya hanya mencari keselamatan diri sendiri dan tidak peduli dengan kedzaliman yang terjadi di depan mata. Atau hanya sebagai pahlawan kesiangan seperti Kumbakarna, orang lain sudah berperang ia baru bangun tidur.***
Readmore - APAKAH ANDA BAYANGAN DARI WIBISANA ATAU KUMBAKARNA