Tuesday, September 28, 2010

MENJUAL NAMA DAN ASET NEGARA BELAJAR DARI PAK GESANG

MENJUAL NAMA DAN ASET NEGARA
BELAJAR DARI PAK GESANG
Oleh: Haidlor Ali Ahmad
Berbicara soal jual-menjual, ada istilah menjual nama yang artinya menggunakan nama orang lain, untuk memperoleh keuntungan pribadi. Biasanya nama orang yang bisa dijual adalah nama orang-orang terkenal dari tingkat RT sampai tingkat nasional. Pada prinsipnya nama-nama yang bisa dijual adalah nama-nama yang bisa dijadikan jaminan. Dengan menjual nama, si penjualnya bisa ikut bonafide, karena oleh lawan transaksinya akan memandang yang bersakutan mempunyai hubungan atau kedekatan dengan pemilik nama yang dijual itu.
Jual nama ini tentu saja tidak seijin atau di luar pengetahuan si pemilik nama. Oleh karena itu, jual nama ini termasuk bisnis ilegal. Sehingga, jika si pemilik nama mengetahui namanya di jual, biasanya akan marah-marah. Karena jual nama bukan perbuatan yang baik maka tidak patut ditiru dan harus dijauhi.
Ada lagi istilah jual aset negara alias jual kekayaan negara. Jual asset negara ini biasanya dilakukan oleh para penguasa yang pikirannya cupet (pendek). Penguasa yang berpikiran pendek adalah penguasa yang gampang panik ketika menghadapi situasi devisa negara menipis, dia tidak bisa mencari solusi, akhirnya mengambil jalan pintas menjual aset negara. Yang pasti penguasa yang seperti itu hanya bisa melihat jangka pendek saja, dia tidak bisa melihat jangka panjangnya seperti apa.
Penguasa seperti itu tentu saja hanya memikirkan keselamatan kekuasannya saja. Yang penting kekuasaannya stabil, tidak peduli harus menjual BUMN dan daerah pertambangan di-ijon-kan kepada perusahaan multi nasional dalam jangka yang panjaaaaang sekali. Akibatnya, anak cucu tinggal gigit jari. Semula mereka berfikir akan mendapat warisan kekayaan alam yang berlimpah, gak tahunya semuanya sudah menjadi milik orang asing.
Yang lebih menyedihkan, di kemudian hari anak cucu kita, baik bekerja di luar negeri, maupun bekerja di dalam negeri bosnya sama (orang asing). Lalu apa artinya dengan kemerdekaan yang pernah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan kita peringati setiap tahun?
Pada saat para penguasa telah menjual BUMN dan telah meng-ijon-kan daerah-daerah pertambangan, seiring itu pula kemerdekaan – terutama untuk anak cucu kita – telah ikut terjual atau tergadaikan. Kita tidak tahu apakah anak cucu kita kelak bisa menebus kemerdekaan yang telah tergadaikan itu? Sebagai orang yang masuk dalam kategori “selemah-lemahnya iman” kita hanya mampu berdoa “amit-amit jabang bayi” Yaa Tuhan jangan kau lahirkan anak cucu kita jika hanya akan menjadi budak orang asing di negeri sendiri.
Rupa-rupanya dalam soal jual-menjual kita harus belajar kepada Pak Gesang. Meskipun, Priyayi Solo yang satu ini tidak piawai dagang, padahal beliau hidup di lingkungan keluarga saudagar batik. Tapi Sang Maestro ternyata piawai dalam hal jual-menjual dan akibat bisnis jual menjual yang dilakukannya sangat bertolak belakang dengan jual nama yang biasa dilakukan orang, padahal beliau juga jual nama; juga bertolak belakang dengan penguasa yang menjual aset negara, padahal beliau juga menjual aset negara.
Pak Gesang telah menjual nama Bengawan Solo, tapi tidak ada yang marah, karena tidak ada yang dirugikan. Pak Gesang telah menjual aset negara (Bengawan Solo), tapi sungai yang mata airnya di kaki Gunung Seribu itu tetap milik kita dan kelak akan dapat diwarisi anak cucu kita.
Dengan menjual Bengawan Solo dalam kemasan lagu kroncong, Pak Gesang telah menjadi seorang Maestro Kroncong, nama bangsa menjadi harum ke seantero dunia. Bengawan Solo dijual tidak dibeli oleh perusahaan multi nasional, tapi dibeli oleh berbagai bangsa. Secara pribadi Pak Gesang memperoleh keuntungan, antara lain beliau menjadi seorang maestro kroncong, tapi bangsa dan anak cucu juga tidak kehilangan aset negara (Bangawan Solo), sehingga kita semua ikut berbangga. Ketika beliau dipanggil yang Maha Kuasa kita pun ikut berduka cita sedalam-dalamnya.
Jika kita mau menyontoh Pak Gesang, masih banyak nama dan aset negara yang lain yang bisa kita jual, dengan tanpa ada yang dirugikan. Banyak nama dan aset negara dari Sabang sampai Merauke, dari Talaut sampai Rote yang bisa kita jual dalam kemasan kroncong persis seperti yang dilakukan Pak Gesang, atau dalam kemasan dangdut, pop, rock dan seriosa, atau dalam kemasan lain, seperti novel yang selanjutnya bisa diangkat ke layar kaca atau layar lebar, semuanya terserah anda. Yang penting dalam hal ini tidak ada yang dirugikan.
Tentunya agar anak bangsa ini bisa semakin kreatif, maka disinilah letak tugas para penguasa untuk merubah citra menjadi pemimpin yang bisa ngayomi, bisa tut wuri handayani, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa. Lebih utama jika para pemimpin bisa memberdayakan rakyat. Agar bisa memberdayakan rakyat, hendaknya para pemimpin bisa merubah cara pandang, misalnya cara pandang terhadap rakyat. Selama ini, para pemimpin selalu memandang rakyat dengan pandangan negatif (rakyat sebagai beban), hendaknya diubah menjadi cara pandang positif (rakyat sebagai aset dan sumber daya).
Apabila para pemimpin sudah bisa memandang rakyat sebagai aset dan sumber daya serta ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan rakyat, maka semboyan “mati satu tumbuh seribu” bukan mustahil bisa menjadi kenyataan. Sehingga di masa mendatang bukan mustahil akan muncul Gesang-Gesang yang lain dan dapat semakin mengharumkan nama bangsa. Demikian juga dalam lingkungan birokrasi dapat pula muncul ribuan Gesang, karena pada hakekatnya aset negara juga bisa dijual dan tetap utuh sebagai milik bangsa serta dapat diwariskan kepada anak cucu, jika aset negara dijual (misalnya) dalam kemasan industri pariwisata. Selamat para pemimpin dan rakyat negeri ini mudah-mudahan dari anda-andalah munculnya Gesang-Gesang yang lain.***
Readmore - MENJUAL NAMA DAN ASET NEGARA BELAJAR DARI PAK GESANG

Saturday, September 18, 2010

MANAJEMEN PERJALANAN DINAS BERDAMPAK MENGANAKTIRIKAN RAKYAT DI DAERAH TERPENCIL

MANAJEMEN PERJALANAN DINAS
BERDAMPAK MENGANAKTIRIKAN RAKYAT DI DAERAH TERPENCIL
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Manajemen perjalanan dinas yang sedang diterapkan pemerintah sekarang ini secara lahiriah kelihatan demikian apik, karena manajemen perjalanan dinas ini berbasis pengeluaran riil. PNS atau petugas yang melakukan perjalanan dinas harus mempertanggungjawabkan penggunaan keuangannya dengan bukti-bukti berupa kwitansi, bil hotel, tiket pesawat lengkap dengan boarding passnya, kecuali pengeluaran riil yang sulit dibuktikan seperti jika harus menginap di rumah penduduk apabila perjalanan dinasnya ke daerah pedesaan dan tidak ada hotel atau losmen. Akan tetapi, manajemen perjalanan dinas tersebut jika kita cermati dengan saksama terasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik keapikannya itu.
Sekurang-kurangnya, ada dua hal yang menarik bagi penulis berkenaan dengan manajemen perjalanan dinas itu. Pertama, petugas yang melakukan perjalanan dinas di samping untuk menunaikan tugas, ia (secara sadar atau tidak) sambil mengantarkan upeti (asok nglondong pengareng-areng) kepada kaum kapitalis. Sebagai ilustrasi saya paparkan rincian perjalanan dinas yang saya laksanakan di Aceh baru-baru ini, (1) Tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh PP Rp 3.771.000,- (2) Uang harian 10 hari @ Rp 300.000,- total Rp 3.000.000,- (3) Uang hotel 9 hari @ Rp 760.000,- total Rp 6.840.000,- (4) Uang taksi rumah–Bandara Sukarno-Hatta PP Rp 460.000,- Dari rincian tersebut terlihat betapa besarnya uang yang dipersembahkan kepada kaum kapitalis, pemilik saham pada perusahaan penerbangan dan hotel berbintang jika dibandingkan dengan yang diterima oleh petugas. Petugas perhari hanya menerima Rp 300.000,- kotor, karena masih digunakan untuk biaya makan siang dan malam, beli minuman, biaya transportasi lokal di tempat dinas, beli obat-obatan atau bahkan ke dokter bila sakit, dan untuk keperluan lain yang tidak terduga. Wal hasil kecil sekali uang yang mengalir ke saku petugas yang bersangkutan. Karena manajemen ini berbasis penggunaan riil, maka jika ada kelebihan uang tiket pesawat dan hotel harus dikembalikan kepada negara.
Selain itu, yang tidak pernah terpikirkan oleh para pengambil kebijakan, bahwa di lingkungan masyarakat paguyuban, ada tradisi oleh-oleh yang harus dibawa oleh orang yang berpergian untuk mereka yang ditinggalkan. Oleh karena itu, di kalangan PNS yang masih terikat dengan pola kehidupan masyarakat paguyuban dalam perjalanan dinas mereka ada social cost yang mereka tanggung, yakni biaya membeli oleh-oleh untuk keluarga, teman sekantor (seruangan kerja) dan tetangga dekat (tangga sak iyuping blarak). Jika seseorang sering melakukan perjalanan dinas dan tidak pernah membawa oleh-oleh, yang bersangkutan akan terkena sangsi sosial, minimal akan mendapat julukan sebagai orang pelit. Dari sisa uang saku yang tinggal sedikit itu atau dari uang bekal (uang pribadi), petugas mememenuhi kebutuhan sosialnya, membeli oleh-oleh. Bekenaan dengan itu, penulis pernah bertemu dengan beberapa orang PNS yang mengatakan tidak mau/enggan disuruh ikut penataran di daerah/kota lain atau perjalanan dinas lainnya karena yang bersangkutan pernah/sering tekor.
Kedua, ada perbedaan yang mencolok antara perjalanan dinas di kota besar dengan di kota kecil apalagi di pedesaan. Perjalanan dinas di kota-kota besar dana untuk menginap di hotel bervariasi sesuai dengan standar masing-masing kota dari sekitar Rp 600 ribu – Rp 1 juta lebih. Perjalanan dinas di kota-kota kecil yang hanya tersedia hotel kelas melati, tarifnya antara Rp 150 ribu – Rp 300 ribu. Jika di pedesaan dan tidak ada penginapan, petugas menginap di rumah penduduk, cukup tidak cukup, dianggarkan sehari semalam hanya Rp 150 ribu. Dengan demikian terdapat kelebihan uang hotel yang sangat buanyaak sekaliii yang harus dikembalikan ke negara.
Manajemen seperti ini secara sekilas memang kelihatan cukup baik. Tapi kalau dicermati secara lebih mendalam tampak adanya faktor “x” yang menarik untuk diurai. Pertama, tugas di kota besar tentu saja jauh lebih nyaman dan menyenangkan, karena mendapat fasilitas hotel berbintang, tidur di atas spring bed dengan sprei putih bersih, udara yang sejuk karena kamarnya ber-AC, tidak ada nyamuk, dan kecil sekali kemungkinan adanya gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Sementara jika tugas di kota kecil hanya tersedia hotel kelas melati, kadang-kadang tidak ada AC, hanya pakai fan, kasur kapuk yang sudah mulai mengeras, sprei kumal tidak diganti-ganti, dan banyak nyamuk. Apalagi jika di pedesaan, bisa tidur di kasur seperti apa pun keadaannya dengan sprei dekil masih untung. Penulis pernah selama 2 bulan menginap di rumah penduduk dan tidur di atas bale bambu dengan alas tikar mendong. Masalah nyamuk jangan ditanya. Rumah tanpa plafon, sewaktu-waktu ada angin bertiup kencang mata bisa kelilipan. Bahkan penulis pernah disengat lebah hitam yang banyak bersarang menggantung di bawah genting yang tanpa plafon. Tugas di pedesaan lebih riskan, sulitnya sarana transportasi dan kemunginan adanya ancaman kejahatan seperti pencurian lebih tinggi dibandingkan dengan tugas di kota. Jika kondisi yang sedemikian rupa tidak ada kompensasinya sama sekali, dan sebaliknya kelebihan uang hotel – atas nama pengeluaran riil – harus dikembalikan, maka ketimpangan seperti itu akan menimbulkan kecenderungan orang lebih memilih perjalanan dinas di kota-kota besar.
Menejemen seperti ini dapat diduga bahwa pengambil kebijakan sengaja menggiring perjalanan dinas mengarah ke kota-kota besar. Ada standar hotel berbintang tempat menginap sesuai dengan pangkat/golongan kepegawaian petugas. Hal ini menunjukkan adanya indikasi monopoli dari pengambil kebijakan dan kroni-kroninya pemilik saham pada berbagai hotel berbintang untuk memastikan perjalanan dinas hanya menginap di hotel berbintang bukan di hotel melati. Bagi para pembuat kebijakan, monopoli ini penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Karena dengan naiknya occupation rate (tingkat hunian) hotel-hotel berbintang yang tarifnya jauh lebih tinggi dibandingkan tarif hotel melati, dapat digunakan untuk menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan di negeri ini. Tapi siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi ini, hanyalah kaum kapitalis antara lain pemilik saham hotel-hotel berbintang. Sementara pemilik hotel melati hanya gigit jari dan rakyat jelata masih harus memperpanjang penderitaannya.
Yang lebih mengenaskan, perjalanan dinas yang cenderung berkutat di kota-kota besar akan berakibat semakin terabaikannya masyarakat di pedesaan, di daerah terluar dan di daerah perbatasan. Jika tidak ada yang peduli terhadap rakyat yang berada nun jauh di sana, lalu dimana letak keadilan dan janji-janji pemerataan kesejahteraan. Ini bukan celoteh tanpa hujah, karena keadilan dan kesejahteraan rakyat termaktub dalam Pancasila. Lalu, seperti apakah para pengambil kebijakan memandang Pancasila? Apakah sila-sila dalam Pancasila itu hanya dianggap sebagai mantra-mantra yang cukup dibaca dalam ritual-ritual resmi kenegaraan? Besar kemungkinan benar begitu, jika realitanya Pancasila tidak pernah dipedomani.
Kebijakan yang memanjakan kaum kapitalis dan berdampak pada sikap penganaktirian terhadap rakyat yang berada nun jauh dari pusat itu hendaknya menjadi perhatian bagi para penguasa di negeri ini. Hal ini penting, kalau tidak ingin rakyat yang di perbatasan lebih akrab dengan pemerintah negeri tetangga dibanding dengan pemerintahnya sendiri. Jika para penguasa tetap tidak mau peduli jangan pura-pura kaget kalau wilayah kekuasaannya di perbatasan di ambil sepulau demi sepulau oleh negara tetangga yang lebih peduli.
Mudah-mudahan para penguasa di negeri ini sadar bahwa sebenarnya mereka adalah para pemimpin yang sedang mengemban amanat rakyat. Yang namanya pemimpin tentu tidak akan mengabaikan rakyatnya yang berada di pelosok, di daerah terluar dan di daerah perbatasan. Kepedulian para pemimpin terhadap rakyat yang berada di daerah terpencil khususnya di daerah perbatasan diharapkan tidak sekedar lip service, tetapi benar-benar tulus dan mampu menyejahterakan mereka setara dengan kesejahteraan rakyat di seberang tapal batas. Dengan kesejahteraan yang sedemikian rupa, kita tidak perlu lagi khawatir akan terjadi penggeseran patok batas negeri atau penjarahan terhadap pulau-pulau terluar, karena rakyat di sana akan selalu siap menjadi patriot tanpa menunggu komando dari pusat.
Oleh karena itu, untuk tidak mengabaikan rakyat di daerah terluar/perbatasan, hendaknya para pejabat pembuat kebijakan agar meninjau kembali kebijakan manajemen perjalanan dinas yang cenderung menggiring para petugas hanya berkutat di kota-kota besar itu. Selanjutnya, para pembuat kebijakan dapat mengubahnya menjadi manajemen perjalanan dinas yang lebih peduli kepada rakyat yang berada jauh dari pusat kekuasaan, sehingga mereka juga mendapat perhatian dari pemerintah pusat, karena mereka juga warga negara Indonesia.***
Readmore - MANAJEMEN PERJALANAN DINAS BERDAMPAK MENGANAKTIRIKAN RAKYAT DI DAERAH TERPENCIL

Wednesday, September 15, 2010

BUPATI/WALIKOTA KREATAIF: BUDI DAYA LEBAH MADU DARI DESA SAMPAI KE KOTA

BUPATI/WALIKOTA KREATAIF:
BUDI DAYA LEBAH MADU DARI DESA SAMPAI KE KOTA
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Kreatif yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah kreatif dalam pengertian positif. Artinya kretaif yang tidak merugikan orang lain dan hasilnya bisa dinikmati orang banyak, Hal ini perlu penulis tegaskan karena belakangan ini banyak orang yang kreatif tapi bersifat negatif, karena kreatifitasnya merugikan orang lain. Misalnya tukang tambal ban menyebar paku di jalanan supaya banyak mobil atau motor yang bannya kena paku, kemudian menambal ban di bengkelnya;; Hecker membobol ATM melalui kemampuannya menguasai kecanggihan teknologi computer; Pejabat yang melakukan tindak korupsi dengan kemampuannya membuat jaringan yang sistemik, dan perbuatan-perbuatan kejahatan lainnya yang menggunakan kecerdasan otak dan kecanggihan teknologi. Pada dasarnya orang-orang yang berbuat jahat dengan menggunakan kecerdasan dan kelicikan ini adalah orang-orang kreatif. Tapi kreatifitasnya itu merugikan banyak orang. Kalaupun menguntungkan orang lain hanya terbatas kelompoknya saja. Jika dikalkulasi secara lebih cermat antara kemaslahatannya dengan kemadlorotannya, lebih banyak kemadlorotannya.
Selanjutnya, tulisan ini penulis tujukan kepada bupati/walikota karena, dua pejabat inilah sebenarnya yang memiliki posisi strategis. Karena keduanya memiliki kekuasaan atas suatu wilayah, dan yang paling/ seharusnya tahu tentang competitive advantage yang dimiliki wilayahnya, serta memiliki garis komando kepada camat dan lurah. Karena posisi strategisnya itu, sehingga bisa muncul seorang bupati yang bernama Sutran yang bisa merubah petani Trenggalek yang sebelumnya hanya bisa memproduksi gaplek menjadi mengenal tanaman cengkeh; dan Bupati Karanganyar menjadikan wilayah di lereng bagian barat Gunung Lawu menjadi terkenal dengan sebutan Kabupaten Anturium. Yang tentunya sebagian penduduk di wilayahnya merasakan betapa derasnya aliran rupiah mengisi koceknya selama daun lebar bergelombang itu mengalami booming.
Contoh-contoh pejabat kreatif positif, sebenarnya masih banyak, tapi kalau mereka yang kreatif itu hanya level lurah/kepala desa maka yang ikut makmur pun biasanya hanya sebatas kelurahan/desa itu saja. Misalnya Kepala Desa Kiringan Magetan tahun 1990-an, yang berhasil menjadikan sebagian warganya menjadi peternak ayam telor. Sehingga di desanya nyaris tidak ada pengangguran, karena hampir semua warga terlibat dalam bisnis ayam petelor, disamping menjadi peternak, ada yang menjadi suplayer makanan ayam, pedagang telor, dan pekerja di peternakan.
Khayalan indah penulis, jika 50% bupati/walikota seluruh negeri ini kretaif positif, jumlah pengangguran, pengemis, dan penyandang masalah sosial lainya akan menurun secara drastis. Demikian pula angka kriminalitas akan ikut turun. Sehingga jika kita bepergian akan semakin nyaman, tidak lagi dihantui oleh penodong, penjambret dan pencopet, Jika naik kendaraan umum kita bisa tidur nyenyak, karena privasi kita tidak diganggu oleh para pengamen.
Letak posisi strategis bupati/walikota karena kewenangan dua pejabat ini untuk membuat regulasi. Misalnya jika komoditas tertentu secara nasional sudah over produksi, maka para bupati/walikota bisa melakukan rapat tingkat nasional, bisa menetukan daerah mana yang mendapat proteksi tetap memproduksi komoditas tersebut, dan daerah mana yang harus mengganti jenis produksinya.
Barangkali ini sekedar contoh yang bisa dilakukan oleh para bupati/wali kota. Belakangan ini sering dikampanyekan kegiatan penghijauan lewat berbagai mass media, terutama TV, dengan berbagai slogan, “Satu orang satu pohon”; “Tanamlah pohon, sebelum kau ditanam” dan lain-lain. Tentunya bagi bupati/walikota semangat dan tindakan riil penghijauan itu merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini perlu penulis tekankan karena kampanye penghijauan yang sedemikian rupa gegap-gempitanya, tapi realisasinya di daerah-daerah dan kota-kota hampir seluruh Indonesia yang pernah penulis jelajahi, dari Sabang sampai Keerom (perbatasan Indonesia-PNG di bagian utara), penghijauan nyaris hanya lip servise saja. Karena banyak jalan-jalan sepanjang kota yang panas tanpa pohon, ketika muncul ruko-ruko banyak pohon yang baru mulai rimbun ditebang. Sangat mungkin penebangan pohon masih jauh lebih pesat meski tanpa suara. Sementara penghijauan gaungnya nyaring sekali, meskipun realisasinya masih sepi.
Memang penghijauan banyak memiliki musuh-musuh bisu tapi sangat ganas, di tengah hutan ada banyak pembalak, di pinggiran hutan banyak petani miskin yang mencari kayu bakar, di kota-kota pemilik ruko dan pemasang iklan sangat benci dengan pohon rimbun karena dianggap sebagai penghalang,
Untuk itu penulis memberanikan diri memberikan saran penghijauan, dengan sekali rengkuh dayung dua-tiga pulau dapat dicapai, yakni penghijauan yang memiliki banyak manfaat. Pertama, untuk menjaga kesejukan udara, menyerap polusi dan memproduksi oksigen. Sebagaimana sering dikampanyekan dalam program-program penghijauan; Kedua, untuk keindahan, ini juga sering juga dikampanyekan; Ketiga, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Agar ketiga manfaat ini dapat diwujudkan maka pemilihan jenis tanaman untuk penghijauan harus tepat.
Untuk manfaat pertama, pilihan tanamannya meliputi tiga jenis, yakni pohon besar, tinggi dan rindang, pohon perdu, dan rumput-rumputan yang dapat menutup tanah. Dengan ketiga jenis tumbuhan ini penyerapan terhadap polutan dapat maksimal, sehingga dapat menambah oksigen dan kesegaran udara. Untuk manfaat kedua, pohon besar dan rindang yang indah adalah pohon trembesi. Pohon ini selain indah dan rindang daunnya kecil, dan tembus sinar matahari, daunya berfungsi seperti paranet. Sehingga dibawahnya masih bisa ditanami tanaman yang lebih kecil, jenis perdu atau rumput, rumputan. Selain itu untuk keindahan bisa dipilih pohon yang banyak bunganya dan indah seperti pohon johar, bungur dan flamboyan. Untuk tanaman perdu yang banyak berbunga misalnya dipilih pohon kemuning, bunga merak dan hujan mas. Untuk jenis rumput rumputan bisa dipilih rumput jenis krokot, yang berbunga indah dan beraneka warna. Untuk manfaat ketiga, peningkatan pendapatan masyarakat, dengan dipilihnya tanaman berbunga, terutama tanaman yang memiliki bunga kupu-kupu banyak memiliki serbuk sari dan nectar yang menjadi makanan lebah, Ada lagi jenis tanaman berbatang semu yang bunganya mengandung banyak nektar yang disukai lebah adalah bunga tasbih atau kana italia. Jika sepanjang jalan dan seluruh lahan tidur dihijaukan dengan pilihan tanaman seperti di sebut di atas maka masyarakat dari desa hingga ke wilayah perkotaan bukan mustahil akan dapat berternak lebah.
Dari ternak lebah akan dihasilkan madu, yang bermanfaat untuk kesehatan yang bisa untuk menmenuhi kebutuhan rumah tangga atau bisa juga dijual. Dan madu merupakan komoditi yang lumayan nilai jualnya.
Untuk para bupati/walikota selamat mencoba, dan semoga rakyat semakin sejahtera dan bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar. Jika bupati/walikota kreatif, itu semua bukan sekedar isapan jempol tapi realita.***
Readmore - BUPATI/WALIKOTA KREATAIF: BUDI DAYA LEBAH MADU DARI DESA SAMPAI KE KOTA

Mengapa bukan subsidi beras ?


MENGAPA BUKAN SUBSIDI BERAS?
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Rasanya sudah bosan, setiap terjadi kenaikan harga minyak dunia, di negeri ini terjadi gonjang-ganjing. Karena pemerintah merasa beban subsidi BBM semakin berat, sehingga ada upaya pengurangan subsidi, dan muncullah kebijakan (yang tidak popular) menaikan harga BBM dalam negeri. Akibatnya, timbul reaksi berupa demo menolak kenaikan harga BBM. Sampai kapan kita selalu disibukan dengan tarik menarik masalah subsidi BBM. Menurut hemat saya, sepanjang pemerintah masih mempertahankan subsidi BBM, selama itu pula, kita harus siap-siap digoncang kenaikan harga minyak dunia, yang berbuntut pada pengurangan subsidi/kenaikan harga BBM dalam negeri, demo dan demo lagi.

Plus, Minus Subsidi BBM
          Subsidi BBM sebenarnya sudah sejak lama, bahkan sejah era orde baru, sudah dikritisi sebagai subsidi yang controversial dan tidak adil. Karena subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan orang-orang kaya. Semakin banyak seseorang memiliki mobil, berarti semakin banyak pula mereka menerima subsidi. Sebaliknya semakin miskin seseorang, apalagi orang yang tidak menggunakan kompor minyak untuk memasak, dan hanya menggunakan pelita untuk penerangan rumahnya, maka sangat kecil pula ia menikmati subsidi BBM. Namun demikian, ketika subsidi BBM ini di kurangi (harga BBM dalam negeri dinaikan) maka dampaknya akan dirasakan oleh kalangan masyarakat miskin. Karena harga barang kebutuhan hidup sehari-hari akan ikut merayap naik paska kenaikan harga BBM, demikian pula tarif jasa angkutan.
          Oleh karena itu, kenaikan harga BBM dalam negeri selalu dipolitisir, untuk menggoncang rezim yang sedang berkuasa, dengan dalih “membela kepentingan rakyat kecil”. Meskipun pemerintah sudah menjelaskan, kurang lebih, bahwa subsidi BBM, sebagai bentuk subsidi barang yang banyak dinikmati kalangan menengah ke atas, sehingga perlu diganti dengan subsidi orang. Yaitu subsidi yang diberikan kepada orang miskin yang memang membutuhkan bantuan, berupa bantuan langsung tunai (BLT). Namun penjelasan tinggal penjelasan, demo menolak kenaikan harga BBM terus berlangsung, dengan mengatas namakan “kepentingan rakyat kecil” mengguncang pemerintah.

Plus, Minus BLT
Di satu sisi, BLT memiliki kelebihan atau keunggulan dibandingkan subsidi BBM, karena BLT merupakan subsidi yang diberikan kepada orang miskin yang membutuhkan batuan. Tapi di sisi lain, BLT banyak menuai kritik dan dianggap kurang mendidik dan tidak mendorong orang miskin semakin bergairah  untuk bekerja. Dengan BLT justeru pemerintah telah menjadikan orang miskin semakin tergantung dan menadahkan tangannya. Bahkan belakangan BLT dikritik sebagai budaya sawer, si pemberi (pemerintah) ingin menunjukkan diri sebagai sosok pemurah, atau sosok yang suka member. Alih-alih money-politic pakai uang negara.
Oleh karena itu saya menyarankan agar BLT diganti dengan subsidi beras. Tapi yang saya maksudkan subsidi beras ini bukan subsidi beras untuk orang miskin (raskin), karena raskin sama saja dengan BLT tidak mendidik dan tidak menumbuhkan semangat kerja. Di samping itu dua-duanya juga rawan  penyelewengan, tidak sampai kepada sasaran. Kalaupun tidak ada penyelewengan, untuk sampai kepada sasaran yang tepat, dua-duanya sangat  tergantung pada data orang miskin yang ada di desa/kelurahan. Sementara data orang miskin di desa/kelurahan banyak yang kurang valid, dan kriterianya tidak jelas. Sehingga banyak terjadi orang yang benar-benar miskin tidak dapat BLT/raskin, sedangkan orang yang sebenarnya tidak layak menerima malah dapat.

Subsidi Beras
          Subsidi beras yang saya maksudkan di sini sebagaimana subsidi beras yang dilakukan oleh pemerintah Jepang, yang dilakukan dengan cara beras dari petani dibeli oleh pemerintah dengan “harga tinggi” (yang menguntungkan petani), kemudian dijual kepada rakyat dengan harga yang lebih rendah dari harga pembeliannya dari petani.
          Dibandingkan dengan subsidi lainnya, subsidi beras seperti ini banyak memiliki keunggulan, pertama subsidi beras merupakan subsidi yang paling adil. Semua rakyat yang makan nasi mendapat subsidi yang relatif sama, karena kekuatan makan antar individu tidak jauh berbeda; Kedua, dengan harga pembelian padi yang ditetapkan pemerintah di atas harga produksi dan Bulog menjadi satu-satunya pembeli padi dari petani. Nasib petani tidak lagi di tangan para tengkulak/pedagang produk pertanian. Sebagaimana yang selama ini sering terjadi, para tengkulak/pedagang selalu mempermainkan harga produk pertanian. Jika musim panen tiba harga padi menurun, sebaliknya jika musim paceklik (ketika petani sudah jarang yang memiliki simpanan padi)  harga padi membumbung tinggi. Dengan subsidi beras ini, fluktuasi harga semacam itu tidak akan terjadi lagi. Sehingga hal ini menjadikan para petani pasti untung, kecuali jika terjadi pencana alam.
Ketiga, kebijakan subsidi beras yang sedemikian rupa dapat menggairahkan para petani untuk menanam padi. Dengan demikian program swasembada beras akan menjadi suatu keniscayaan;  Keempat, selama ini ekonomi kerakyatan sering digembar-gemborkan para calon pemimpin dan tokoh-tokoh politik tapi tak kunjung diwujudkan. Bersamaan dengan implementasi subsidi beras, berarti pemerintah telah mewujudkan ekonomi kerakyatan. Dengan terwujudnya ekonomi kerakyatan maka ketahanan ekonomi bangsa pun akan semakin kokoh;  Kelima, jika petani semakin bergairah, maka kehidupan ekonomi di pedesaan akan semakin bergairah pula. Pemuda-pemuda desa pun dalam mengais rejeki tidak perlu keluar kampung, karena rejeki kampungan pun tidak kalah daya tariknya dibandingkan dengan rejeki kotaan.  Dengan demikian pemerintah pusat dan pemerintah kota tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan pencegahan urbanisasi.

Bagaimana Mengalihkan Subsidi BBM ke Subsidi Beras
          Kalau bangsa ini ingin hidup tenang, tidak selalu digoncang dengan kenaikan harga minyak dunia dan segala akibatnya, mau gak mau pemerintah harus memiliki tekad yang kuat untuk mencabut sama sekali subsidi BBM dan menyerahkan harga BBM kepada pasar. Berat memang menyapih kalangan pengusaha dan orang-orang kaya (konglomerat) yang manja ini lepas dari botol susu BBM. Karena sikap para klomerat di negeri ini terhadap pemerintah sudah seperti Yahudi yang selalu menggelendoti pemerintah AS. Setiap muncul kebijakan pengurangan subsidi/menaikan harga BBM mereka selalu mempolitisasi menggerakkan para demonstran dan konyolnya lagi selalu mengatasnamakan orang miskin yang semakin menderita karena kenaikan harga BBM.
          Memang jika pengurangan subsidi/menaikkan harga BBM akan terasa berat jika tidak ada kompensasi. Sayangnya kompensasi yang pernah diberikan pemerintah berupa BLT, bukan subsidi beras. Jika kompensasi yang diberikan pemerintah berupa subsidi beras dengan mekanisme sebagaimana sudah saya uraikan di atas, maka dampaknya akan sangat berbeda. Karena subsidi beras dapat memperkokoh basik ekonomi kerakyatan dan ketahanan pangan. Sehingga pengurangan subsidi BBM yang dilakukan setahap demi setahap dan akhirnya dihapus sama sekali, hampir pasti tidak akan menimbulkan reaksi sebagaimana yang pernah terjadi. Karena sebenarnya yang paling sering menimbulkan reaksi bagi umumnya rakyat kebanyakan adalah masalah perut. Maka jika perut mereka kenyang hampir pasti mereka tidak mudah dikompori oleh kalangan konglomerat yang manja yang kehilangan botol susu BBM-nya.***

Readmore - Mengapa bukan subsidi beras ?