REVITALISASI
WADUK DAN DANAU
UNTUK
KESEJAHTERAAN DAN KERUKUNAN
ANTARUMAT
BERAGAMA
Oleh:
Haidlor Ali Ahmad
Selasa, 2 Desember
2014, sekitar jam 9 pagi, Presiden Jokowi update status dalam akun facebooknya
tentang kunjungannya ke Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Jawa Tengah. Presiden
prihatin dengan kondisi waduk itu dan menyarankan agar direvitalisasi, termasuk
penanaman pohon di wilayah hulu. Postingan itupun saya beri komentar, bahwa
saya setuju dan, menurut hemat saya, belakangan ini bukan hanya waduk-waduk
saja yang mendesak untuk segera direvitalisasi, tetapi banyak juga danau-danau
yang harus segera direvitalisasi.
Sebenarnya berbicara
tentang revitalisasi waduk/danau merupakan pekerjaan yang sama, karena antara waduk
dan danau bedanya hanya pada proses penciptaannya saja. Waduk adalah danau
buatan, sedangkan danau tercipta secara alami. Sedangkan dari sisi fungsi juga tidak
ada bedanya. Fungsi utama dari keduanya adalah untuk menampung air pada waktu
musim hujan sehingga tidak terjadi banjir dan menyimpannya agar pada musim
kemarau daerah di sepanjang aliran sungai yang mata airnya dari waduk/danau
tidak kekurangan air, terutama untuk kepentingan pengairan sawah dan ladang. Selain
itu, waduk/danau bisa dimafaatkan sebagai sumber air minum oleh perusahaan air
minum PAM/PDAM; sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga air (PLTA);
sebagai obyek wisata; dan perikanan air tawar.
Agar fungsi-fungsi tersebut dapat terpenuhi,
maka waduk/danau perlu dijaga debit airnya. Debit air dalam waduk/danau akan
dapat terjaga dalam kondisi normal jika hutan di wilayah hulu terjaga dengan
baik. Karena jika di wilayah hulu terjadi kerusakan hutan, apalagi sampai
terjadi penggundulan hutan, maka pada musim hujan, debit air waduk atau danau
akan melebihi daya tampung. Kondisi seperti ini sangat membahyakan terutama
bagi waduk, karena bisa jebol dan menimbulkan banjir bandang yang sangat
mengerikan. Akibat lainnya, di wilayah hulu akan terjadi erosi yang
mengakibatkan terjadinya pendangkalan waduk/danau. Selain itu, di musim kemarau
permukaan air wanduk/danau akan mengalami penurunan dan di daerah hilir akan
mengalami bencana kekeringan. Para petani di daerah hilir akan mengalami
kesulitan memperoleh air guna mengairi sawah/ladang dan empang tempat budidaya ikan.
Kondisi demikian juga
akan berdampak buruk bagi PLTA. Kekurangan air berarti akan mengurangi tenaga
pemutar turbin yang berdampak pada penurunan kapasitas daya dan distribusi
listrik akan mengalami gangguan. Akhirnya, terjadi pemadaman listrik secara
bergantian. PAM/PDAM juga akan mengalami gangguan. Karena sumber airnya
berkurang, maka distribusi airnya ikut berkurang dan kualitas airnya pun jadi
menurun. Sebagai obyek wisata akan menjadi kurang menarik. Pada waktu musim
hujan sangat berbahaya karena ancaman banjir bandang, seperti yang pernah
terjadi di obyek wisata lereng Gunung Arjuna di Mojokerto. Sementara pada musim
kemarau hutan yang gundul dan permukaan air yang menurun tentu bukan merupakan
pemandangan yang indah.
Oleh karenanya, revitalisasi
waduk/danau dengan penanaman pohon atau reboisasi di wilayah hulu akan dapat
menormalisasi kondisi waduk atau danau dan sekaligus menormalisasi semua
fungsi-fungsinya. Tentu tidak cukup melakukan revitalisasi dengan reboisasi di
wilayah hulu. Karena masih banyak hal-hal yang merusak fungsi waduk/danau yang
belum mendapat perhatian, antara lain keberadaan keramba para cukong dari kota
(bukan milik petani ikan) yang semakin hari semakin bertambah banyak.
Pemerintah setempat kelihatan
abai terhadap keberadaan keramba ini. Padahal keberadaan keramba-keramba di
waduk/danau sangat mengganggu atau sebagai bentuk usaha yang tidak ramah
lingkungan, bahkan sangat membahayakan. Pertama,
keberadaan keramba di waduk/danau sangat mengganggu pemandangan bagi waduk/danau
sebagai obyek wisata. Dengan keberadaan keramba-keramba, aktivitas wisata akan
mengalami kesulitan untuk dikembangkan. Misalnya jika pariwisata itu akan
dikembangkan untuk kegiatan olah raga air, seperti renang, dayung, ski air,
kano, atau sekedar mainan speda air dan naik perahu keliling danau akan
menghadapi kesulitan. Padahal semakin banyak kegiatan pariwisata yang disediakan
atau ditawarkan maka semakin tinggi pula daya jual suatu obyek wisata. Jika
obyek wisata semakin ramai maka pemerintah setempat akan memperoleh banyak keuntungan,
antara lain: dengan semakin ramainya kunjungan wisata maka akan dibutuhkan
tempat penginapan (hotel), restoran, bisnis souvenir, sarana transportasi, biro
jasa perjalanan dan bisnis-bisnis jasa lainnya. Dengan semakin banyaknya
bentuk-bentuk usaha yang bermunculan, maka akan banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.
Dampak positifnya akan terjadi pengurangan jumlah pengangguran dan dengan semakin banyaknya bentuk usaha
maka semakin banyak juga penerimaan pajak yang diterima pemerintah setempat.
Kedua,
dampak dari budaya ikan di waduk/danau dengan keramba sangat berbahaya, karena
sisa makanan ikan yang mengendap di dasar waduk/danau akan membusuk dan menjadi
racun. Jika keberadaan keramba ini dibiarkan, berarti setiap hari terjadi
pembibitan racun secara terus menerus. Akumulasi racun itu akan menjadi racun abadi
yang tersimpan bersama lumpur di dasar waduk/danau. Racun ini akan merusak
ekosistem dan mebunuh ikan dan biota-biota lain yang ada di dalam waduk/danau dan
di sepanjang aliran sungai yang mata airnya dari waduk/danau tersebut. Yang
memprihatinkan jika racun itu sampai memunahkan ikan endemik yang hidup di
waduk/danau tertentu. Misalnya ikan bilih yang terkenal sangat lezat dan gurih
rasanya, yang merupakan ikan endemik Danau Singkarak di Provinsi Sumatera Barat,
kalau sampai punah gara-gara racun dari keramba tentu sangat mengenaskan. Karena
tidak ada ikan bilih di tempat lain. Hal ini sangat mungkin akan terjadi,
karena beberapa tahun yang lalu banyak ikan mati di Danau Maninjau di provinsi
yang sama, karena terjadi fenomena alam gelombang arus bawah yang membawa racun
yang tertimbun lumpur di danau itu. Fenomena semacam itu pernah terjadi juga di
Waduk Jatiluhur Jawa Barat, bahkan sudah terjadi dua kali.
Oleh karenanya,
pemerintah daerah yang di wilayahnya terdapat waduk atau danau tidak boleh abai
terhadap keberadaan keramba-keramba seperti itu. Waduk/danau sangat mendesak
untuk segera disterilkan dari keramba-keramba ikan. Dinas-dinas perikanan
hendaknya belajar kepada petani ikan di Vietnam yang berhasil membudidayakan
ikan dori (patin) dan menguasasi pasar ikan patin dunia. Padahal ikan patin
yang dibudidayakan di Vietnam itu berasal dari Indonesia. Mereka membudayakan
patin bukan di waduk/danau tapi di empang-empang sepanjang aliran sungai.
Sehingga sisa-sisa makanan ikan tidak mencemari waduk/danau sebagai sumber air
bersih yang dibutuhkan bukan hanya untuk manusia tetapi juga makhluk hidup lainnya
yang berada di lembah sepanjang aliran sungai di bawah waduk/danau.
Sebagai contoh danau
yang perlu direvitalisasi adalah Danau Maninjau yang berada di ujung bawah
Kelok Ampik Puluh Ampik yang cukup terkenal. Saya sangat tertarik dengan keindahan
alam danau ini. Selain keindahan alamnya, ada yang spesifik di danau ini, yaitu
keberadaan pohon kelapa yang tumbuh di tepi danau. Bukan sekedar karena pohon
kelapa yang tumbuh melengkung ke tengah danau tapi keberadaan pohon kelapa itu
sendiri sangat spesifik. Karena pohon kelapa tidak bisa tumbuh dengan baik di
daerah pegunungan dimana biasanya danau tercipta. Keindahan alam dan spesifikasi
yang dimiliki serta lokasi danau yang di ujung Kelok Ampik Puluh Ampik yang
juga merupakan salah satu jalur dari Kota Padang menuju Kota Bukit Tinggi seharusnya
danau ini memiliki nilai jual yang tinggi. Tapi faktanya tidak demikian. Keindahan
alam danau ini dirusak oleh keberadaan keramba-keramba ikan dan tebing-tebing
sekeliling danau tampak kusut masai ditumbuhi rumput-rumput liar dan sepanjang
tepian danau berjejer rumah penduduk yang semrawut.
Pada
tahun 2014 ada dua danau yang saya kunjungi, yaitu Danau Wae Kuri (danau asin)
di Kabupaten Sumba Barat
Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur dan Telaga Ngebel di Ponorogo, Jawa Timur, dan
pada tahun 2015 saya mengunjungi Danau Mas Harum Bastari di Rejang Lebong Bengkulu
yang kondisinya tidak seindah dan seharum namanya. Danau Wae Kuri cukup indah
tidak ada kerusakan di sekitar danau, airnya yang asin cukup menarik untuk
dipromosikan. Sehingga membuat orang yang datang ke SBD penasaran untuk
mengunjunginya. Tapi sayangnya jalan menuju danau asin itu tidak ada
rambu-rambu penunjuk jalan, dan jalannya sebagian belum diaspal dan sangat
gersang. Oleh karena itu, dalam makalah saya yang saya sampaikan dalam semiloka
di Hotel Sinar Tambolaka SBD Tanggal 16-18 September 2014 bersama aparat Kantor
Kementerian Agama Kabupaten SBD, para pemuka lintas agama, pemuka masyarakat
dan adat, saya sarankan agar dilakukan gotong royong antarumat beragama untuk penghijauan
jalan-jalan menuju obyek-obyek wisata, antara lain jalan menuju Danau Asin Wae
Kuri. Kegiatan semacam ini dapat dijadikan sebagai modal sosial bridging atau modal sosial yang
menjembatani atar penganut agama yang berbeda untuk memelihara kerukunan di antara mereka. Bahkan kegiatan ini bukan
sekedar menciptakan ‘kerukunan pasif’ tetapi merupakan ‘kerukunan aktif’, yaitu
wujud kerukunan yang tinggi tingkatannya. Karena hubungan antarumat beragama
tidak sekedar rukun, tetapi mereka dapat melakukan kerjasama. Lebih dari itu,
jika gotong royong pengijauan itu berhasil – jalan menuju Danau Asin Wae Kuri
menjadi hijau dan indah dan danau itu banyak dikunjungi wisatawan – berarti mereka
telah berhasil pula membangun memori kolektif yang indah.
Banyak waduk dan danau di
negeri ini yang dapat direvitalisasi dengan cara gotong goyong antarumat
beragama, dengan melibatkan tokoh-tokoh maupun pemuda lintas agama, dan jika kegitan
itu berhasil, misalnya dapat mempercantik obyek wisata dan meningkatkan daya
jual atau jumlah kunjungan wisatawan. Keberhasilan itu di satu sisi, akan dapat
meningkatkan income daerah dan
membuka lapangan kerja bagi masyarakat; Di sisi lain akan meciptakan kerukunan
aktif, berupa kerja sama antarumat beragama dan wujud fisik keberhasilannya
merupakan memori kolektif yang indah.***
No comments:
Post a Comment
thanks for join!