Saturday, September 18, 2010

MANAJEMEN PERJALANAN DINAS BERDAMPAK MENGANAKTIRIKAN RAKYAT DI DAERAH TERPENCIL

MANAJEMEN PERJALANAN DINAS
BERDAMPAK MENGANAKTIRIKAN RAKYAT DI DAERAH TERPENCIL
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Manajemen perjalanan dinas yang sedang diterapkan pemerintah sekarang ini secara lahiriah kelihatan demikian apik, karena manajemen perjalanan dinas ini berbasis pengeluaran riil. PNS atau petugas yang melakukan perjalanan dinas harus mempertanggungjawabkan penggunaan keuangannya dengan bukti-bukti berupa kwitansi, bil hotel, tiket pesawat lengkap dengan boarding passnya, kecuali pengeluaran riil yang sulit dibuktikan seperti jika harus menginap di rumah penduduk apabila perjalanan dinasnya ke daerah pedesaan dan tidak ada hotel atau losmen. Akan tetapi, manajemen perjalanan dinas tersebut jika kita cermati dengan saksama terasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik keapikannya itu.
Sekurang-kurangnya, ada dua hal yang menarik bagi penulis berkenaan dengan manajemen perjalanan dinas itu. Pertama, petugas yang melakukan perjalanan dinas di samping untuk menunaikan tugas, ia (secara sadar atau tidak) sambil mengantarkan upeti (asok nglondong pengareng-areng) kepada kaum kapitalis. Sebagai ilustrasi saya paparkan rincian perjalanan dinas yang saya laksanakan di Aceh baru-baru ini, (1) Tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh PP Rp 3.771.000,- (2) Uang harian 10 hari @ Rp 300.000,- total Rp 3.000.000,- (3) Uang hotel 9 hari @ Rp 760.000,- total Rp 6.840.000,- (4) Uang taksi rumah–Bandara Sukarno-Hatta PP Rp 460.000,- Dari rincian tersebut terlihat betapa besarnya uang yang dipersembahkan kepada kaum kapitalis, pemilik saham pada perusahaan penerbangan dan hotel berbintang jika dibandingkan dengan yang diterima oleh petugas. Petugas perhari hanya menerima Rp 300.000,- kotor, karena masih digunakan untuk biaya makan siang dan malam, beli minuman, biaya transportasi lokal di tempat dinas, beli obat-obatan atau bahkan ke dokter bila sakit, dan untuk keperluan lain yang tidak terduga. Wal hasil kecil sekali uang yang mengalir ke saku petugas yang bersangkutan. Karena manajemen ini berbasis penggunaan riil, maka jika ada kelebihan uang tiket pesawat dan hotel harus dikembalikan kepada negara.
Selain itu, yang tidak pernah terpikirkan oleh para pengambil kebijakan, bahwa di lingkungan masyarakat paguyuban, ada tradisi oleh-oleh yang harus dibawa oleh orang yang berpergian untuk mereka yang ditinggalkan. Oleh karena itu, di kalangan PNS yang masih terikat dengan pola kehidupan masyarakat paguyuban dalam perjalanan dinas mereka ada social cost yang mereka tanggung, yakni biaya membeli oleh-oleh untuk keluarga, teman sekantor (seruangan kerja) dan tetangga dekat (tangga sak iyuping blarak). Jika seseorang sering melakukan perjalanan dinas dan tidak pernah membawa oleh-oleh, yang bersangkutan akan terkena sangsi sosial, minimal akan mendapat julukan sebagai orang pelit. Dari sisa uang saku yang tinggal sedikit itu atau dari uang bekal (uang pribadi), petugas mememenuhi kebutuhan sosialnya, membeli oleh-oleh. Bekenaan dengan itu, penulis pernah bertemu dengan beberapa orang PNS yang mengatakan tidak mau/enggan disuruh ikut penataran di daerah/kota lain atau perjalanan dinas lainnya karena yang bersangkutan pernah/sering tekor.
Kedua, ada perbedaan yang mencolok antara perjalanan dinas di kota besar dengan di kota kecil apalagi di pedesaan. Perjalanan dinas di kota-kota besar dana untuk menginap di hotel bervariasi sesuai dengan standar masing-masing kota dari sekitar Rp 600 ribu – Rp 1 juta lebih. Perjalanan dinas di kota-kota kecil yang hanya tersedia hotel kelas melati, tarifnya antara Rp 150 ribu – Rp 300 ribu. Jika di pedesaan dan tidak ada penginapan, petugas menginap di rumah penduduk, cukup tidak cukup, dianggarkan sehari semalam hanya Rp 150 ribu. Dengan demikian terdapat kelebihan uang hotel yang sangat buanyaak sekaliii yang harus dikembalikan ke negara.
Manajemen seperti ini secara sekilas memang kelihatan cukup baik. Tapi kalau dicermati secara lebih mendalam tampak adanya faktor “x” yang menarik untuk diurai. Pertama, tugas di kota besar tentu saja jauh lebih nyaman dan menyenangkan, karena mendapat fasilitas hotel berbintang, tidur di atas spring bed dengan sprei putih bersih, udara yang sejuk karena kamarnya ber-AC, tidak ada nyamuk, dan kecil sekali kemungkinan adanya gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Sementara jika tugas di kota kecil hanya tersedia hotel kelas melati, kadang-kadang tidak ada AC, hanya pakai fan, kasur kapuk yang sudah mulai mengeras, sprei kumal tidak diganti-ganti, dan banyak nyamuk. Apalagi jika di pedesaan, bisa tidur di kasur seperti apa pun keadaannya dengan sprei dekil masih untung. Penulis pernah selama 2 bulan menginap di rumah penduduk dan tidur di atas bale bambu dengan alas tikar mendong. Masalah nyamuk jangan ditanya. Rumah tanpa plafon, sewaktu-waktu ada angin bertiup kencang mata bisa kelilipan. Bahkan penulis pernah disengat lebah hitam yang banyak bersarang menggantung di bawah genting yang tanpa plafon. Tugas di pedesaan lebih riskan, sulitnya sarana transportasi dan kemunginan adanya ancaman kejahatan seperti pencurian lebih tinggi dibandingkan dengan tugas di kota. Jika kondisi yang sedemikian rupa tidak ada kompensasinya sama sekali, dan sebaliknya kelebihan uang hotel – atas nama pengeluaran riil – harus dikembalikan, maka ketimpangan seperti itu akan menimbulkan kecenderungan orang lebih memilih perjalanan dinas di kota-kota besar.
Menejemen seperti ini dapat diduga bahwa pengambil kebijakan sengaja menggiring perjalanan dinas mengarah ke kota-kota besar. Ada standar hotel berbintang tempat menginap sesuai dengan pangkat/golongan kepegawaian petugas. Hal ini menunjukkan adanya indikasi monopoli dari pengambil kebijakan dan kroni-kroninya pemilik saham pada berbagai hotel berbintang untuk memastikan perjalanan dinas hanya menginap di hotel berbintang bukan di hotel melati. Bagi para pembuat kebijakan, monopoli ini penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Karena dengan naiknya occupation rate (tingkat hunian) hotel-hotel berbintang yang tarifnya jauh lebih tinggi dibandingkan tarif hotel melati, dapat digunakan untuk menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan di negeri ini. Tapi siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi ini, hanyalah kaum kapitalis antara lain pemilik saham hotel-hotel berbintang. Sementara pemilik hotel melati hanya gigit jari dan rakyat jelata masih harus memperpanjang penderitaannya.
Yang lebih mengenaskan, perjalanan dinas yang cenderung berkutat di kota-kota besar akan berakibat semakin terabaikannya masyarakat di pedesaan, di daerah terluar dan di daerah perbatasan. Jika tidak ada yang peduli terhadap rakyat yang berada nun jauh di sana, lalu dimana letak keadilan dan janji-janji pemerataan kesejahteraan. Ini bukan celoteh tanpa hujah, karena keadilan dan kesejahteraan rakyat termaktub dalam Pancasila. Lalu, seperti apakah para pengambil kebijakan memandang Pancasila? Apakah sila-sila dalam Pancasila itu hanya dianggap sebagai mantra-mantra yang cukup dibaca dalam ritual-ritual resmi kenegaraan? Besar kemungkinan benar begitu, jika realitanya Pancasila tidak pernah dipedomani.
Kebijakan yang memanjakan kaum kapitalis dan berdampak pada sikap penganaktirian terhadap rakyat yang berada nun jauh dari pusat itu hendaknya menjadi perhatian bagi para penguasa di negeri ini. Hal ini penting, kalau tidak ingin rakyat yang di perbatasan lebih akrab dengan pemerintah negeri tetangga dibanding dengan pemerintahnya sendiri. Jika para penguasa tetap tidak mau peduli jangan pura-pura kaget kalau wilayah kekuasaannya di perbatasan di ambil sepulau demi sepulau oleh negara tetangga yang lebih peduli.
Mudah-mudahan para penguasa di negeri ini sadar bahwa sebenarnya mereka adalah para pemimpin yang sedang mengemban amanat rakyat. Yang namanya pemimpin tentu tidak akan mengabaikan rakyatnya yang berada di pelosok, di daerah terluar dan di daerah perbatasan. Kepedulian para pemimpin terhadap rakyat yang berada di daerah terpencil khususnya di daerah perbatasan diharapkan tidak sekedar lip service, tetapi benar-benar tulus dan mampu menyejahterakan mereka setara dengan kesejahteraan rakyat di seberang tapal batas. Dengan kesejahteraan yang sedemikian rupa, kita tidak perlu lagi khawatir akan terjadi penggeseran patok batas negeri atau penjarahan terhadap pulau-pulau terluar, karena rakyat di sana akan selalu siap menjadi patriot tanpa menunggu komando dari pusat.
Oleh karena itu, untuk tidak mengabaikan rakyat di daerah terluar/perbatasan, hendaknya para pejabat pembuat kebijakan agar meninjau kembali kebijakan manajemen perjalanan dinas yang cenderung menggiring para petugas hanya berkutat di kota-kota besar itu. Selanjutnya, para pembuat kebijakan dapat mengubahnya menjadi manajemen perjalanan dinas yang lebih peduli kepada rakyat yang berada jauh dari pusat kekuasaan, sehingga mereka juga mendapat perhatian dari pemerintah pusat, karena mereka juga warga negara Indonesia.***

2 comments:

  1. saya setuju, karena memperhatikan masyarakat perbatasan sama dengan memeperkuat tembok benteng pertahanan NKRI

    ReplyDelete
  2. tks atas komennya!

    ReplyDelete

thanks for join!