Friday, October 15, 2010

JIKA KITA SAMA-SAMA BERFIKIR POSITIF

JIKA KITA SAMA-SAMA BERFIKIR POSITIF
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Selama ini sering kita dengar para pejabat terutama pejabat tinggi menganjurkan agar kita semua bisa berfikir positif. Anjuran tersebut utamanya ditujukan kepada para aktivis yang sering mengkritisi kinerja pemerintah, agar mereka tidak selalu memandang kekurangannya saja tetapi juga bisa melihat kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai pemerintah. Tentu saja anjuran itu sangat baik agar semua komponen bangsa ini lebih optimis dalam menyongsong masa depan. Tapi sayangnya, para pejabat sendiri justru belum bisa berfikir positif, dengan kata lain masih sering berfikir negatif. Cara berfikir negatif para pejabat ini tampak, antara lain ketika mereka memandang jumlah rakyat dan pegawainya yang sangat besar, serta wilayah negaranya yang sangat luas. Mereka selalu memandang hal tersebut sebagai beban.
Cara berfikir para pejabat – khususnya para decision maker (pembuat kebijakan) – yang negatif ini sangatlah merugikan bagi seluruh rakyat Indonesia dan bagi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan keterpurukan bangsa ini dan ketertinggalannya dibandingkan bangsa-bangsa lain dapat diduga merupakan akibat dari cara berfikir negatif para pejabat. Karena dari cara berfikir negatif para pejabat yang demikian (memandang luas wilayah, jumlah rakyat dan pegawai semuanya sebagai beban), maka dasar pengambilan kebijakannya pun berpangkal dari beban yang ditanggung pemerintah. Sehingga orientasi kebijakan yang diambil pun sekitar pengurangan beban tersebut.
Selain itu, cara berfikir negatif para pejabat itu juga mengindikasikan kurang seriusnya mereka mengemban amanat rakyat. Karena dengan cara berfikir negatif itu para pejabat dengan mudah berkilah atas kekurangmampuan dan kegagalannya dengan mengkambinghitamkan jumlah rakyat dan pegawainya yang sangat besar serta wilayah negara yang sangat luas. Sebenarnya berfikir negatif tentang jumah rakyat dan pegawai yang sangat besar, terutama terhadap wilayah negara yang sangat luas itu sama saja dengan sikap kurang (kalau tidak boleh dikatakan tidak) mensyukuri nimat yang telah diberikan oleh Tuhan kepada bangsa ini.
Yang perlu ditekankan bahwasanya jumlah rakyat dan aparat/pegawai yang sangat besar, serta wilayah yang sangat luas dari Sabang hingga Merauke – setara dengan rentang wilayah Benua Eropa dari batas paling barat sampai batas paling timur – adalah merupakan nikmat kebesaran bangsa yang sudah given. Meskipun hal itu bukan indikator utama bagi bangsa yang besar. Tapi jika bangsa ini memiliki keunggulan soft power (ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi) dan hard power (kekuatan militer), maka jumlah rakyat dan luas wilayah itu akan melengkapi kebesaran bangsa kita.
Dalam menetapkan besaran gaji PNS, kebijakan pemerintah juga berangkat dari beban. Sebagai ilustrasi, setelah 10 tahun tidak ada penyesuaian gaji PNS, sementara dalam satu dasa warsa itu telah terjadi inflasi 15%, tentu sudah waktunya ada penyesuaian gaji. Logikanya untuk penyesuaian gaji PNS harus dinaikan 15% dari gaji pokok. Tapi ketika ada usulan penyesuaian gaji 15% dari gaji pokok, setelah dihitung-hitung 15% kali total gaji pokok PNS seluruh Indonesia, yang muncul berapa kenaikan beban yang harus ditanggung pemerintah? Kemudian penyesuaiannya tidak 15%, tapi hanya 10%. Bahkan belakangan ini sering kenaikannya tidak ditambahkan pada gaji pokok, karena kalau gaji pokok naik, kelak pensiunannya juga ikut naik. Alasanya selalu dikaitkan dengan berapa beban yang harus ditanggung pemerintah? Oleh sebab itulah gaji pegawai di negeri ini sangat jauh dibandingkan dengan misalnya, gaji pegawai di negeri Jiran. Padahal dengan gaji yang rendah pegawai negeri (akibat dari cara berfikir negatif) rakyat Indonesia menjadi tidak berdaya, menjadi terpuruk dan semakin tertinggal bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Hal ini akan sangat berbeda jika para pembuat kebijakan bisa berfikir positif, maka mereka akan melihat bahwa luas wilayah, jumlah rakyat dan pegawai adalah aset. Sehingga kebijakan yang muncul adalah bagaimana mengelola aset ini supaya lebih berkembang dan semakin menguntungkan. Jika melihat jumlah pegawai ini sebagai aset yang bisa diberdayakan, maka pemberian gaji kepada pegawai bukan sebagai beban lagi, melainkan sebagai investasi. Dengan demikian semakin besar gaji yang diberikan kepada para pegawai, maka semakin besar pula investasi yang ditanam oleh pemerintah. Sehingga anak cucu kita kelak akan dapat menuai investasi yang ditanam pemerintah sekarang dengan hasil yang berlipat ganda. Sebaliknya, jika yang ditanam pemerintah adalah beban, maka anak cucu kita akan menuai beban yang berlipat ganda pula.
Logika penanaman investasi melalui gaji pegawai ini sangatlah sederhana. Jika pegawai di negeri ini memperoleh gaji lebih dari cukup meliputi seluruh kebutuhan hidup, yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, sosial, agama, dan rekreasi, maka pada tahap kecukupan pertama, para pegawai akan dapat merekrut minimal 2 tenaga kerja (pembantu rumah tangga dan sopir pribadi). Karena gaji para pegawai cukup besar, mereka pun akan mampu menggaji PRT dan sopirnya cukup besar pula. Tidak seperti sekarang gaji PRT dan sopir pribadi sekitar Rp 600 – 800 ribu/bulan.
Jika pemerintah bisa membuat dan melaksanakan kebijakan seperti itu, sama dengan pemerintah telah membuat hujan emas di negeri sendiri. Sehingga TKI/TKW kita tidak perlu mencari hujan emas di negeri jiran, yang pada kenyataannya bukan hujan emas yang mereka terima, melinkan penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan perkosaan dan pembunuhan. Gaji pegawai dan upah buruh yang lebih dari cukup juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Selanjutnya akan perdampak positif pada perkembangan ekonomi, karena berbagai macam/jenis industri yang sudah ada akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Dengan gaji pegawai yang lebih dari cukup, mereka akan menabung sisa gajinya. Jika tabungannya sudah cukup banyak, berarti mereka telah memasuki tahap kecukupan kedua, mereka akan membuka usaha, semisal home industry, peternakan, perikanan, perdagangan, biro jasa dan lain-lain. Bukan tidak mungkin pada tahap ini mereka (yang memiliki feeling bisnis yang baik) sudah bisa melakukan usaha joint venture bersama teman-teman mereka, sehingga mereka bisa mewujudkan bentuk usaha yang cukup besar.
Pada tahap kecukupan ketiga, mereka sudah bisa merambah usaha yang besar seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, atau menjadi manufacturer dan lain-lain. Dalam tahapan ini akan dapat tumbuh secara alami dari kalangan kelas menengah kebawah menjadi kelas menengah keatas atau pengusaha bersekala besar (patrisia kota), yang selama ini nyaris tidak pernah ada pertumbuhan semacam itu. Sebagaimana selama ini ditunggu-tunggu oleh Richard Tanter dan Kenneth Young dalam bukunya The Politics of Middle Class Indonesia.
Dari mereka yang tumbuh secara alami menjadi kelas menengah keatas itu ada harapan dari bangsa ini untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Karena mereka akan menjadi penyeimbang bahkan menjadi benteng masuknya konglomerat asing. Sehingga mereka akan menjadi majikan di negeri sendiri. Sehingga para TKI tidak perlu lagi berburu ringgit ke negeri Jiran, berburu dolar ke Hongkong, atau berburu real ke Arab Saudi, tapi cukup di negeri sendiri bisa menjala rupiah sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi jika penguasa di negeri ini tetap berfikir negatif sehingga bangsa kita tetap terpuruk maka para TKI akan tetap berbondong-bondong mengadu nasib di negeri orang. Lebih mengenaskan lagi jika informasi yang pernah penulis terima (sekian tahun yang lalu) dari seorang ketua ormas Islam di Sumatera Utara ternyata benar, bahwa ada sekitar 28 juta hektar perkebunan di Sumatera Utara sudah dikuasai oleh cukong-cukong dari negeri Jiran. Jika itu benar tentu sekarang perkebunan yang dikuasai cukong-cukong asing itu sudah semakin luas. Yang memprihatinkan kelak, buruh-buruh kita baik kerja di luar negeri maupun di dalam negeri majikannya sama, yakni orang asing. Lalu di mana letak martabat bangsa ini? Apakah bangsa ini memang ditakdirkan menjadi budak-budak bagi bangsa-bangsa lain baik di luar maupun di dalam negeri? Selanjutnya, sumonggo kersa paduka ingkang kuwaos wonten negari menika. Kawula namung nyadong dawuh.***

2 comments:

  1. Sambil tersenyum ketika Membaca tulisan bapak yang “jika kita sama-sama berfikir positif”, saat itu saya berfikir ternyata tidak sulit membuat impian kita menjadi nyata yaitu menjadikan masyarakat Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
    Setuju dengan bapak bahwa pemerintah seharusnya tidak takut dan ragu untuk menaikan gaji para pegawai negeri, sehingga logika penanaman investasi yang bapak tulis bisa menjadi nyata.
    Bukankah salah satu penyebab kenapa para pegawai masih saja korupsi adalah karena gaji mereka yang minim…….?
    Monggo bapak yang diatas sana mari berfikir positif karena bangsa Indonesia ini milik kita, bukan hanya milik segelintir orang saja maka jangan di jual kepada bangsa lain.
    Jangan kita menjadi bangsa yang kufur ni’mah……!

    ReplyDelete
  2. Tks atas komen anda. Lebih dari itu saya semakin optimis bangsa ini dpt merealisasikan cita2 nya "menjadi bangsa yg besar" jk generasi muda spt anda bisa berfikir positif, kritis, dan realistis.
    Dg kondisi spt sekarang ini yg korup bukan PNS saja, swasta jg tidak kalah behatnya dlam melakukan tindak korupsi. Tp sebenarnya kuncinya pd pejabat pembuat kebijakan. krn yang membuat "abang ijone" (sengasara atau makmurnya) bangsa dan negara ini adalah mereka.
    Klo pjbt skrg tdk bs diharapkan,ya kita tunggu sj secara alami. Tp generasi penerus spt anda hrs bisa mengubah nasib bangsa ini. Tongkat estafeta pembangunan ada di tangan anda. Selamat semoga sukses!

    ReplyDelete

thanks for join!