Friday, October 22, 2010

MAWAS DIRI, BENARKAH KITA SEBAGAI BANGSA YANG BESAR?

MAWAS DIRI, BENARKAH KITA SEBAGAI BANGSA YANG BESAR?
Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Kita ini bangsa besar. Begitulah selalu bangsa lain melihat bangsa ini, apalagi dengan kekayaan alam dan budaya yang dimilikinya. Alamnya sangat cocok untuk pertanian ditambah tambang dan minyak yang dimilikinya. Indonesia diberikan kekayaan alam yang luar biasa yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Apalagi dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia merupakan pasar yang besar. (Marwah Daud Ibrahim, http://id-id.facebook.com/ topic.php?uid=40510165487 &topic=7800). Klaim-klaim Indonesia sebagai bangsa yang besar semacam itu belakangan ini (sejak terjadi ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia) demikian marak dikemukan orang baik dari kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Di telinga awam orang Indonesia, pernyataan seperti itu tentu tidak menimbulkan kesangsian sama sekali.
Tapi klaim-klaim semacam itu, di satu sisi, memang perlu, apalagi pada saat seperti sekarang ini, dimana bangsa kita sedang dilecehkan oleh bangsa lain. Karena, klaim semacam itu dapat menimbulkan kebanggaan dan dapat meningkatkan harga diri bangsa, serta dapat meningkatkan semangat juang untuk melawan pelecehan tersebut. Tapi di sisi lain kita tidak boleh terus menerus dimabuk klaim-klaim semacam itu, terutama bagi kalangan tertentu (yang berpendidikan tinggi).
Menurut hemat penulis, bagi kalangan berpendidikan tinggi perlu mengetahui kondisi riil bangsa kita sendiri, apakah benar bangsa kita sekarang ini sebagai bangsa yang besar? Hal ini penting diketahui, karena pertama, bagaimana kita bisa mengukur kekuatan lawan, jika kita tidak bisa mengukur kekuatan sendiri. Kedua, jika kita tidak mengetahui kondisi bangsa sendiri bagaimana kita bisa berbenah diri.
Indikator Bangsa yang Besar
Bangsa yang besar bukanlah sekedar bangsa yang memiliki wilayah negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar, seperti yang kita miliki. Apalagi jika kekayaan alam, seperti pertambangan dan daerah perkebunan sudah dikuasai perusahaan mulitinasioanal milik asing. Karena itu sebenarnya kebesaran suatu bangsa lebih ditentukan oleh keunggulan dalam penguasaan soft power dan hard power. Tapi apabila suatu bangsa, telah unggul dalam penguasaan soft power dan hard power maka luas wilayah negara dan jumlah penduduk yang sedemikian rupa akan melengkapi kebesarannya.
Yang dimaksud dengan soft power adalah kekuatan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi; sedangkan hard power adalah kekuatan di bidang kemiliteran, meliputi penguasaan persenjataan (alutsista) termasuk teknologinya, dan kekuatan personil militer baik jumlah (kuantitas) maupun kualitasnya.
Dengan indikator tersebut kita dapat mengukur di mana posisi bangsa kita, apakah bangsa kita benar-benar sebagai bangsa yang besar atau klaim-klaim bahwa kita adalah bangsa yang besar hanyalah suatu klaim pelipur lara saja.
Dalam penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya kita tidak kalah dibandingakan dengan bangsa Malaysia, buktinya masih banyak mahasiswa dari negeri Jiran yang menuntut ilmu di berbagai bidang di Indonesia. Tapi di bidang ekonomi, kita harus akui kita sudah jauh tertinggal dibandingkan mereka, indikatornya gaji pegawai negeri dan upah buruh di Indonesia jauh di bawah gaji pegawai negeri dan upah buruh di sana.
Disinilah kita perlu menyadari, bahwa akibat dari lemahnya ekonomi kita ini, banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) unskill (buruh kasar di perkebuan dan pembantu rumah tangga) yang berburu ringgit di sana. Karena jumlah TKI unskill yang begitu banyak mencari kehidupan di negeri Jiran, akibatnya jiran kita itu memandang rendah bangsa kita, dan mereka menyebut para TKI itu dengan sebutan inferior, “Indon”. Selain itu, (akibat dari lemahnya ekonomi) pemerintah kita tidak mampu menghargai para cerdik pandai dengan penghargaan yang sepantasnya, sehingga tidak sedikit para cerdik pandai yang kita miliki kabur ke negara lain. Mereka akhirnya dimanfaatkan kepandaiannya oleh bangsa-bangsa lain yang mampu membayar mereka dengan layak. Ini tentu saja di satu sisi akan menghambat langkah kemajuan bangsa kita, dan di sisi lain semakin mendorong kemajuan bangsa yang mampu menggaji mereka.
Berkenaan dengan keunggulan penguasaan hard power, kekuatan personil, bagi bangsa kita yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, dilihat dari ketersediaan SDM, tidak masalah. Pemerintah akan merekrut berapa saja personil militer tidak akan kekurangan. Demikian pula jika dilihat dari semangat juang anak bangsa, negeri ini tidak akan kekurangan personil militer, apalagi sampai membangun legiun asing (foreign legion). Itu sangat tidak perlu. Sebagaimana beberapa waktu yang lalu tanpa ada rekrutmen dari pemerintah, begitu hubungan Indonesia-Malaysia mengalami ketegangan, serta merta banyak anak-anak muda yang siap menjadi sukarelawan. Memang jauh berbeda jika dilihat dari kemampuan keuangan negara, apakah pemerintah mampu merekrut calon personil militer sehingga negeri ini memiliki jumlah personil militer yang seimbang dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Negara?
Untuk alutsista, karena budaya korupsi yang sudah merajalela sejak era orde baru, maka banyak terjadi belanja alutsista fiktif. Ketika BJ Habibie menjadi presiden kaget sekali melihat alutsista yang ada sudah ketinggalan jaman dan jumlahnya tidak memadai. Bahkan akhir-akhir ini sering terjadi kecelakaan pesawat tempur, yang disebabkan oleh banyaknya pesawat tempur yang sudah usang dan sebenarnya juga sudah tidak laik terbang. Tapi apa mau dikata bak pepatah “tidak ada rotan akar pun jadi”, tidak ada pesawat yang baru, pesawat usang pun jadi. Akibatnya, banyak pahlawan yang gugur bukan di medan perang.
Kekurangan alutsista juga terlihat di lautan, banyak pintu-pintu gerbang laut dan selat yang tidak terjaga, sehingga banyak tamu tidak diundang berbondong-bondong memasuki wilayah lautan kita untuk menjarah kekayaan alam kita. Sekalinya laut itu dijaga, yang jaga pasukan tanpa senjata. Sehingga layaknya panggung dagelan, “apa tumon, sekuriti koq digondol maling?” (apa gak aneh, sekuriti koq dibawa lari sama maling?). Tapi itulah faktanya, kejadian penculikan penjaga keamanan laut kita yang dilakukan oleh “malingsia”. Peristiwa tersebut berbuntut pada munculnya ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia beberapa waktu yang lalu.
Langkah-langkah menuju bangsa yang besar
Jika kita ingin menjadi bangsa yang besar bisa kita awali dari penguasaan shoft power atau unggul dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Untuk itu kita perlu membenahi sistem pendidikan kita, antara lain meliputi kurikulum, meningkatkan SDM tenaga pengajar, dan sarana fisiknya. Dalam upaya pembenahan kurikulum, kita tidak perlu buang-buang waktu, tenaga dan pikiran, apalagi membuang banyak dana dengan metode “kelinci percobaan” seperti yang terjadi selama ini. Akibat dari itu semua, muncul kata-kata sumbang “setiap ganti menteri ganti kurikulum”. Untuk itu kita cukup melakukan bench marking atau remodeling dari kurikulum yang dimiliki bangsa lain yang berhasil dalam dunia pendidikan, seperti Inggris yang kurikulumnya tidak pernah diubah sejak sebelum revolusi industry; atau menyontoh Jepang yang juga berhasil dalam dunia pendidikan, sehingga dengan hanya menguasai soft power saja bisa menjadi bangsa yang besar.
Untuk meningkatkan SDM kita memang sudah pada saatnya menghargai guru (tenaga pengajar dari tingkat SD-perguruan tinggi). Sudah bukan saatnya lagi kita menjadikan guru sebagai sosok “wagu lan kuru” (culun dan kurus karena gajinya kecil), juga sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru harus kita hargai dan kita hormati dengan memberikan gaji yang lebih dari cukup, sehingga kita bisa merekrut tenaga guru dari mereka yang lulus terbaik, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Untuk sarana fisik, jangan sampai ada lagi syair tentang “gedung sekolah yang seperti kandang ayam”. Caranya bukan dengan memarahi profesor yang membaca syair, tapi dengan pembangunan secara riil gedung-gedung sekolah yang representatif.
Selain itu, untuk meningkatkan keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kita perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM peneliti dan kegiatan basic research. Peningkatan kuantitas (jumlah) SDM peneliti ini sangat perlu karena jumlah peneliti kita yang paling rendah di antara negara-negara Asean. Meskipun jumlah total peneliti Indonesia terbesar di antara negara-negara Asean (42.722 orang), tapi jika dihitung per juta penduduk, peneliti Indonesia hanya 199, masih di bawah Tailan (292), Malaysia (503) dan jauh dibawah Singapura (5.713). Berdasarkan data statistic UN-ESCAP (2009) posisi Indonesia juga masih di bawah Iran (947) dan Pakistan (310) (Subejo, The Jakarta Post, 02 Jul 2010)
Perlu diketahui bahwa jumlah peneliti yang dimiliki suatu negara memiliki korelasi yang kuat dengan kemajuan negara tersebut. Contoh: Singapura sebagai negara yang paling maju di Asia Tenggara memiliki peneliti terbanyak dibandingkan negara-negara lain di kawasan tersebut; Jepang memiliki peneliti terbanyak di Asia setara dengan yang dimiliki AS dan negara-negara maju di Eropa Barat. Untuk peningkatan kuantitas dan kualitas SDM peneliti ini perlu adanya keseriusan para pejabat pengambil kebijakan.
Selama ini kebijakan manajemen kegiatan penelitian – meliputi penyediaan dana dan alokasi waktu kegiatan – menunjukkan ketidakseriusan para pembuat kebijakan. Jika dilihat dari jumlah anggaran penelitian yang disediakan pemerintah, pada tahun anggaran 2010, anggaran penelitian kita masih dibawah 1% dari total anggaran (0,07%), jauh di bawah Singapura (2,36%), Malaysia (0,63%), Thailand (0,25%), dan Vietnam (0,19%)(Subejo,ibid).
Dengan anggaran ala James Bond (0,07%) di negeri ini masih sering terjadi tarik menarik kepentingan atara pejabat pembuat kebijakan dan peneliti, terutama berkaitan dengan alokasi waktu kegiatan penelitian, dimana para pembuat kebijakan menghendaki alokasi waktu yang sependek-pendeknya, sedangkan para peneliti menginginkan alokasi waktu yang lebih panjang. Menurut hemat penulis, dalam hal ini sebenarnya tidak perlu adanya debat kusir seperti itu, melainkan cukup melakukan bench marking dari kebijakan manajemen penelitian di negara-negara maju (kalau kita ingin maju). Cara ini lebih arif dan sesuai dengan prinsip “win-win solution”. Selain itu, perlu juga pemberian gaji yang lebih dari cukup bagi para peneliti. Sehingga dalam hal ini, pemerintah juga bisa merekrut untuk SDM peneliti dari mereka yang lulus terbaik.
Untuk pembenahan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi rakyat, para pengambil kebijakan juga bisa berguru kepada mantan murid kita (Malaysia) yang sekarang sudah lebih pintar dan sukses dibandingkan gurunya. Yang sebenarnya kunci keberhasilan pemberdayaan ekonomi rakyat yang dilakukan tetangga kita itu adalah dari pemberian gaji pegawai/upah buruh yang lebih dari cukup. Dengan gaji yang seperti itu ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, antara lain: (1) Meningkatnya daya beli masyarakat, sehingga berbagai macam industri bisa tumbuh dan berkembang dengan baik; (2) Pegawai dan buruh di sana bisa membuka lapangan kerja minimal dua orang bagi setiap keluarga, yaitu pembantu rumah tangga (PRT) dan sopir pribadi. Gaji yang diberikan kepada PRT dan Supir juga lebih dari cukup; (3) Para penerima gaji (dari kalangan kerah putih sampai kerah biru, bahkan hingga pekerja un-skill seperti PRT dan buruh perkebunan) dapat menabung setiap bulan; (4) Dari kemampuan menabung ini, masyarakat di sana secara ekonomi bisa tumbuh dan berkembang, sehingga muncul kelas menengah yang tidak hanya mampu membangun usaha di dalam negeri saja, tapi juga membuka usaha atau investasi di negara-negara lain, termasuk di negara kita.
Sudah saatnya kita sekarang mawas diri. Apakah kebijakan “bermiskin ria” yang selama ini dilaksanakan di negeri ini masih akan kita lestarikan, dan kita biarkan anak-anak bangsa harus berburu real di Timur Tengah, berburu ringgit di negeri Jiran yang tidak jarang diantara mereka menerima nasib yang menyedihkan, disiksa, dilecehkan, diperkosa dan bahkan tidak sedikit yang pulang tinggal jasad. Kalau kita memang ingin menjadi bangsa yang besar, unggul dalam penguasaan soft power dan hard power, kita tidak perlu malu-malu belajar kepada siapapun termasuk kepada murid kita yang memang sekarang sudah lebih pintar dan lebih maju dari gurunya.
Dengan mawas diri dan meninggalkan kebijakan-kebijakan yang kurang kondusif terhadap kemajuan, serta mau berguru kepada siapapun, termasuk kepada musuh, semoga kita bisa menjadi bangsa yang besar.***

5 comments:

  1. Saya sepakat Pak Haedlor soal perlunya kita mawas diri dan mendelet kebijakan yang kontra kemajuan..tapi lebih spesifik lagi ini lebih diarahkan kepada stakeholders...sy ga tau apa Bapak sudah/sedang/belum berada pd posisi itu skr?-:), semoga bisa sampai...amin..

    Soal kesejahteraan, memang mnjd problem tersendiri di semua lini di Republik kita, tidak tau apa pasal budget yg tidak pernah cukup atau banyak pengeluaran yg selama ni tdk efesien sehingga yg sebetulnya penting dan mendesak tapi tdk diperhatikan...?

    Persoalan Brain Drain di bangsa kita, bisa diasumsikan karena faktor yg bapak sebut juga...sekalipun banyak anjuran agar mrk segera back to their own home...tapi apa daya, nasi lebih ngebul didapur sebelah...saya rasa ga bisa disalahkan juga khan..?

    Muladi

    ReplyDelete
  2. Tks, mas Muladi atas komen-nya. Tulisan sy ini sebenar berangkat dari rasa keprihatinan saya terhadap anak bangsa ini. Saya bukan menyalahkan mrk yang berburu ringgit, real dan dolar di negeri orang. Yg saya sedihkan kenapa para penguasa di negeri yg katanya kaya (gemah ripah loh jinawi kerta raharja) ini koq ga bs bikin hujan emas di negeri sendiri. Padahal banyak tambang emas, yang gede-gede sj misalnya ada Busang, Batu Hijau, dan Freeport. Pantes sj dari yg pintar2 sampe yg unskill pada memperbaiki kehidupannya di negeri orang. Ok, sekali lagi tkas atas komen-nya.

    ReplyDelete
  3. Menurut saya, klaim para pengelola negeri ini yang menyatakan bahwa kita bangsa yang besar baru berdasarkan sisi kuantitas (SDA) saja, belum benar-benar memperhatikan sisi kualitas (SDM.
    Banyak fakta dan realita yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang menunjukkan bahwa negara absen/abstain terhadap berbagai persoalan yang menimpa rakyatnya. Bagi saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami bagaimana kehidupan rakyatnya makin sejahtera baik lahir maupun batin, sehingga bangsa-bangsa lainpun dapat melihat dan merasakan kesejahteraan bangsa Indonesia yang pada akhirnya akan menumbuhkan rasa respect (menghargai) akan eksistensi bangsa kita di kancah pergaulan internasioanl.Tabik

    ReplyDelete
  4. sepakat pak..memang persoalan kebijakan, apakah itu di level pemerintah ataupun pembuat UU...selalu berorientasi kpd kepentingan sesaat (minimal selama mrk masih menjabat)..setelah mereka lengser, soal pasal yang mereka setujui, ngga akan dipedulikan lagi, kalau ternyata itu membuat jutaan orang sengsara...contohnya saja kebijakan/UU investasi, yang ujung2nya adalah eksploitasi kekayan alam dan sumber saya Indonesia yang sangat tidak seimbang...

    yang jadi malah kita hanya dijadikan sebagai sapi perah orang2 "Luar"...tetap saja yg miskin makin miskin dan kaya makin kaya...siklus.."daulah" versus kitab suci secara ekonomi itu hampir tidak ada jadinya....

    Terusin Pak tulis yang seperti ini...supaya semua kita melek..dan sadar diri..:)

    ReplyDelete
  5. Okey mas Rosadi tks atas komenya. dan juga Mas Muladi atas komen dan suportnya. Insya Allah kalo ga lagi sibuk dan sehat-sehat sll, setiap minggunya minimal akan nambah 1 tulisan. Okey, sekali lagi tks untuk semuanya.

    ReplyDelete

thanks for join!